JAKARTA, KOMPAS - Kehadiran Ketua DPR Setya Novanto dalam pertemuan 8 Juni 2015 yang disinyalir membicarakan PT Freeport Indonesia dipandang publik sebagai tindakan pelanggaran etika. Publik berharap pengusutan kasus itu tidak berhenti pada penegakan etika. Dugaan pidananya pun perlu diusut.
Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus dugaan pelanggaran etika oleh Novanto, atas pengaduan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, menyedot perhatian publik. Lebih dari 70 persen responden dalam jajak pendapat Kompas, pekan lalu, mengaku mengikuti kasus ini. Separuh di antaranya menyaksikan siaran langsung sidang MKD melalui televisi.
Besarnya perhatian publik pada kasus ini tak lepas dari kontroversi yang muncul. Laporan Sudirman disertai dengan bukti rekaman pembicaraan tiga pihak, yaitu Novanto, pengusaha M Riza Chalid, dan Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Dalam pembicaraan tersebut, mereka menyebut-nyebut nama Presiden dan Wakil Presiden saat membicarakan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dengan kompensasi saham.
Sebagian besar responden menilai pertemuan tersebut tidak pantas dilakukan Ketua DPR, apalagi membawa nama Presiden dan Wakil Presiden. Sebanyak 78,1 persen responden menilai Novanto telah melanggar kode etik anggota dan pimpinan DPR.
Kasus ini bukan merupakan yang pertama bagi Novanto. Sebelumnya, politikus Partai Golkar itu juga mendapat sanksi teguran dari MKD karena menghadiri kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat asal Partai Republik, Donald Trump, di New York, AS, Oktober 2015.
Penilaian responden dalam kasus Novanto senada dengan respons sejumlah tokoh, salah satunya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Menurut Mahfud, dari persidangan MKD dengan agenda kesaksian Sudirman yang diiringi mendengarkan isi rekaman pertemuan, Novanto sudah jelas melanggar etika (Kompas, 5/12/2015).
Intervensi partai
Penilaian publik terkait dengan pelanggaran etika Novanto itu tak lepas dari persidangan terbuka MKD. Sidang pemeriksaan pengadu (Sudirman) dan saksi (Maroef) secara terbuka diapresiasi publik. Sayangnya, Novanto malah meminta sidang secara tertutup. Hampir 81,5 persen responden menyatakan tidak setuju dengan sikap Novanto, yang meminta sidang MKD tertutup tersebut.