Oleh: Miftah Fadhli
JAKARTA, KOMPAS - Dalam dunia di mana penggunaan teknologi semakin canggih, Pramod K Nayar dalam buku Citizenship and Identity in the Age of Surveillance (2015) melihat bahwa praktik pengintaian bukan lagi sekadar ihwal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi belaka.
Pengintaian, menurut Nayar, telah menjadi kultur, cara hidup, yang olehnya bisa digambarkan lewat modifikasi adagium René Descartes yang terkenal itu: aku diintai, maka aku ada.
Sebagai sebuah kultur, Nayar percaya bahwa fenomena pengintaian menciptakan tiga diskursus yang saling terhubung sebagai fondasi ideologis dan ideasional dari kultur pengintaian: kerentanan, keamanan, dan pengawasan. Praktik pengintaian menciptakan ruang hidup yang baru, gaya hidup baru yang modern, yang tak dapat dielakkan di satu sisi, tetapi juga dilematis di sisi lain.
Pertama-tama, orang-orang harus percaya bahwa mereka hidup dalam kerentanan. Itulah konstruksi, apa yang oleh Torin Monahan (2010) sebut "subyek yang gelisah" (insecurity subjects). Kemudian mereka akan menjadi percaya bahwa ruang publik, tempat orang-orang berkumpul dan lalu lalang, harus steril dari sikap-tindak yang mengancam keselamatan diri.
Tindakan pengintaian mengkreasikan diskursus "keamanan publik" sebagai kebutuhan untuk menekan perasaan tidak aman di ruang publik. Sejak saat itu, kota-kota mulai dipasangi CCTV dan teknologi biometrik pada kartu identitas diterapkan. Seluruh informasi tentang diri kita harus diketahui untuk memastikan kita bukan ancaman bagi ruang publik.
Persoalannya, bagi Nayar, orang-orang mulai bertingkah berlebihan ketika pertanyaan tentang masalah "keamanan sosial" dalam masyarakat—ketidaksetaraan, kemiskinan, pengangguran, akses pendidikan, dan kesehatan—diterjemahkan melalui kebijakan pemasangan metal detector atau pengembangan teknologi penyadapan demi keamanan ruang publik belaka.
Masalah terorisme, misalnya, semata-mata diselesaikan dengan menyadap seluruh percakapan komunikasi penduduk dengan teknologi yang mampu mencuri seluruh informasi tentang diri seseorang. Melupakan persoalan ketidaksetaraan sosio-ekonomi, untuk menyebut salah satu, yang menggiring seseorang meledakkan dirinya di tempat umum. Atau pemerkosaan di kendaraan umum diselesaikan justru dengan mengontrol cara berpakaian orang lain tanpa melihat adanya persoalan relasi kuasa timpang antara laki-laki dan perempuan.