JAKARTA, KOMPAS.com--Ada keinginan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mendengar aspirasi kaum minoritas dalam usaha merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri ihwal pembangunan rumah ibadah yang sering menjadi pemicu gesekan antarumat beragama.
Kalangan minoritas seperti pengikut Hindu dan Kristen merasa keberatan dengan isi keputusan dua menteri itu, yang mengatur bahwa untuk membangun sebuah rumah ibadah diperlukan syarat: daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Di samping itu, pembangunan rumah ibadah memerlukan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ditambah lagi adanya rekomendasi tertulis kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota serta rekomendasi tertulis FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Kabupaten/Kota.
Untuk memenuhi keempat syarat itu, bagi umat beragama yang minoritas, dirasa tidak mudah bahkan sangat tidak mudah. Suara-suara yang merasa keberatan itu berseliweran di berbagai media sosial dan Mendagri mencoba hendak mengakomodasinya dengan menjalin komunikasi dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Setelah ada koordinasi dan kesepakatan dengan Menag, Tjahjo hendak mendiskusikannya dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan. Hasilnya akan dibawa ke dalam rapat kabinet nantinya.
Menurut Tjahjo, beberapa syarat yang menjadi masalah konflik perlu dikurangi atau dihilangkan, seperti syarat persetujuan 90 orang di sekitar lokasi pendirian. Atau, cukup hanya Izin Mendirikan Bangunan yang menjadi pertimbangan penting pendirian rumah ibadah.
"Mencermati berbagai kasus perusakan rumah ibadah dan polemik pembangunan rumah ibadah di beberapa daerah yang mengakibatkan konflik masyarakat antar umat beragama, kami (Kemendagri) akan segera bahas dulu dalam rapat di tingkat Menteri Agama dan Menko Polhukam," ujar Tjahjo.
Menurut dia, negara harus memberikan jaminan kebebasan untuk setiap warga negara memeluk agamanya masing-masing. Mulai dari kegiatan keagamaan sampai pembagunan rumah ibadah. Hal seperti ini merupakan hak setiap individu. Ia sangat tidak setuju bila ada intoleransi keagamaan.
Ia menegaskan Indonesia bukanlah negara agama. Makanya, kepala daerah diminta untuk berhati-hati dalam menerbitkan peraturan daerah (perda) yang ada keterkaitannya dengan persoalan keyakinan masyarakat.
"Sebab, tidak ada wilayah yang menganut satu agama khusus. Pasti ada beberapa persen memiliki kepercayaan berbeda," ujar dia menambahkan.
Tampaknya gagasan untuk merevisi SKB 2 Menteri itu tak sepi dari kontroversi. Penentang revisi antara lain datang dari Majelis Intelektual Muda Indonesia (MIUMI), yang meminta pemerintah tidak perlu gegabah mengubah SKB tersebut.
Sesungguhnya, urusan rumah ibadah ternyata lebih kompleks dari sekadar pembangunannya. Bagi pengikut Hindu, rumah ibadah memiliki makna yang lebih luas dan dalam. Situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan kuno di tanah Air yang berada di bawah kekuasaan Majapahit dan Singosari, misalnya, dinilai sebagai bagian dari rumah ibadah umat Hindu.
Faktanya, kepekaan terhadap tempat ibadah Hindu belum dimiliki mayoritas warga non-Hindu, yang menganggap situs-situs bersejarah itu sekadar benda arkeologis belaka tanpa makna spiritual yang dijunjung oleh umat Hindu.
Yang menyedihkan, karena tak adanya pemahaman di sejumlah orang tentang tempat-tempat suci Hindu, terjadilah tragedi pembakaran petilasan Yoganing Dipantara Gunung Wayang di kaki Gunung Wayang, pembakaran Pura Sangkareang di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan kasus lain yang tragis.
Dalam konteks inilah, pemeluk Hindu meminta Pemerintah memberi ruang bagi umat Hindu untuk memasukkan situs-situs peninggalan Hindu yang bernilai sakral sebagai bagian dari pemanfaatan kembali tempat suci.