"Kami ingin penyelenggara pemilu dari pusat sampai bawah paham dulu makna gratifikasi. Ini aktivitas yang memang rawan," kata pejabat dari Direktorat Gratifikasi KPK Asep Rahmat Suwandha, dalam rapat koordinasi yang digelar Bawaslu, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Selasa (6/10/2015).
Hadir dalam rapat tersebut jajaran KPU dan Bawaslu serta stakeholders lainnya mulai dari TNI, Kepolisian, DPRD dan Pemda Kalsel, hingga ormas dan tokoh agama setempat. Rapat diselenggarakan dalam rangka pendidikan partisipatif pengawasan Pilkada di Provinsi Kalimantan Selatan.
Asep menjelaskan, sangat mudah untuk menentukan apakah suatu pemberian merupakan gratifikasi yang dilarang atau tidak. Seorang cukup melihat apakah pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas tersebut berhubungan dengan jabatannya sebagai penyelenggara negara atau tidak.
"Misalnya kalau saya tidak menjabat di KPK, kira-kira orang itu akan tetap memberikan saya tidak? Kalau tidak, itu berhubungan dengan jabatan. Maka termasuk gratifikasi yang dilarang," ucap Asep.
Lebih jauh Asep menjelaskan, larangan penerimaan gratifikasi ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 128 ayat (2) menyebutkan, penerima gratifkasi diancam pidana penjara seumur hidup, paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Ada pula pidana denda paling sedikit Rp 200 Juta dan paling banyak Rp 1 Milyar. Namun dalam pasal 12 C ayat (1) disebutkan bahwa sanksi hukum tidak berlaku jika lapor kepada KPK.
"Jadi kami minta Bapak Ibu melapor, sebenarnya untuk melindungi Bapak dan Ibu juga," ucap Asep.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.