Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Babak Belur

Kompas.com - 03/10/2015, 15:18 WIB

Oleh: Indra Tranggono

JAKARTA, KOMPAS - Tanpa dukungan kekuasaan yang kuat dan tulus, kebudayaan terancam babak belur, bangkrut, dan longsor.

Lalu, lahirlah "bangsa malin kundang" yang durhaka, tega menghancurkan rahim ibunya dan membakar budayanya. Ironisnya, bangsa malin kundang justru bangga menjadi "manusia-manusia baru" bermental serba penakluk, penghancur, oportunistik, dan penggasak apa saja atas nama kebebasan dan kerakusan.

Tanah air, bangsa, nilai-nilai budaya lokal, keadaban, tradisi, sejarah, narasi-narasi leluhur, dan identitas diri tinggal akhirnya jadi kerak yang menumpuk di ceruk benak. Semuanya telah dibakar demi sesembahan atas nilai-nilai baru/asing destruktif yang mengatasnamakan kepentingan kuasa kapital, produksi, dan konsumsi. Investasi modal asing dan pertumbuhan ekonomi dianggap jauh lebih penting daripada budaya dan ideologi.

Namun, ironisnya, semua impian itu nihil karena yang muncul hanyalah kemiskinan dan kehancuran kebudayaan bangsa. Negara tanpa kebudayaan terbukti gagal membangun peradaban dan kesejahteraan.

Selama ini, pemerintah masih terperangkap pemahaman klasik: kebudayaan bisa hidup sendiri tanpa pengayoman (regulasi, politik anggaran, dan kebijakan operasional). Pemerintah masih memandang kebudayaan sebagai entitas nilai yang berada di kotak museum dan tidak berhubungan dengan kesejahteraan publik pendukungnya.

Hal lain yang tak kalah membikin miris adalah makin banyak produk kebudayaan lokal yang nyaris lenyap atau bahkan sudah punah. Sebut saja bahasa daerah, kesenian tradisional, upacara adat, dan sistem kepercayaan (budaya spiritual). Adapun budaya modern, karya masyarakat, juga kurang mendapatkan ruang aktualisasi. Budaya massa/poplah yang dibiarkan dominan.

Problem klasik di atas hanya contoh kecil dari sikap abai pemerintah terhadap kebudayaan dan para pendukungnya. Ini karena belum dimilikinya strategi kebudayaan yang jelas oleh pemerintah dan penyelenggara negara. Pengelolaan kehidupan bernegara-bermasyarakat seperti asal jalan, tanpa panduan kebudayaan, justru mengikuti arus utama: ekonomi sebagai panglima. Ketika ekonomi jadi ukuran dominan dan determinan, perhitungan yang digunakan hanyalah untung dan rugi.

Celakanya, ketika datang keuntungan, pihak yang menikmati hanyalah elite politik dan elite ekonomi. Sementara ketika muncul kerugian, rakyat harus turut menanggung. Misalnya dengan keikhlasan hidup pontang-panting di tengah "pertumbuhan ekonomi yang melambat", sebuah istilah lain dari krisis ekonomi. Atau terlucutinya identitas kebudayaan dan karakter bangsa.

Tata kelola kebudayaan

Negara tanpa strategi kebudayaan adalah negara tanpa masa depan peradaban dan kesejahteraan. Ia hanya menjadi subordinasi dari kuasa ekonomi dan politik bangsa asing. Ini tak beda dengan negara terjajah.

Bangsa pun mengidap mental pekathik (abdi dalam sistem kekuasaan hegemonik-absolut). Tugas pekathik hanyalah patuh kepada tuannya (penguasa politik dan ekonomi serta kaum pemodal). Pekathik tak pernah sadar siapa dirinya, tak punya identitas, karakter, martabat, dan masa depan. Ia bekerja seperti mesin yang hanya bisa bilang sendika ndara, injih ndara tuan juragan (siap, baginda).

Orang-orang yang berjarak dengan praktik kebudayaan di masyarakat mungkin saja tak menganggap penting UU Kebudayaan. Namun, mereka yang tahu persis "babak belur" kebudayaan pasti berpendapat sebaliknya.

Kebudayaan tidak hanya berkiatan dengan nilai, ide, kreativitas, tetapi juga produk budaya tangible (benda) dan intangible (tak benda), sistem perilaku, ekspresi, hak cipta, kelembagaan, dan tata kelola yang melibatkan individu, masyarakat, dan negara. Pada konteks nilai, ide, dan kreativitas, kebudayaan tidak membutuhkan UU kecuali dukungan.

Namun, UU dibutuhkan dalam tata kelola kebudayaan: melindungi, melestarikan, mengembangkan, serta memanfaatkan bagi tujuan kemuliaan/kesejahteraan manusia dan membangun peradaban bangsa. Di dalamnya termasuk perlindungan atas hak intelektual, hak berkebudayaan, hak berekspresi secara estetik dan non-estetik, dan lainnya.

Kebudayaan tak bisa hadir (dibiarkan) sendirian di wilayah publik ketika berhadapan dengan kuasa politik, sosial, dan ekonomi. Kebudayaan terlalu ranum dan lunak ketika berhadapan dengan kekuasaan predatoris, baik level individu, kelompok, maupun lembaga yang bersikap anti kebudayaan. Kebudayaan juga terlalu rapuh berhadapan dengan bakteri dan virus mematikan yang diproduksi kekuasaan anti kebudayaan, baik atas nama politik, ekonomi, maupun agama. UU Kebudayaan protektor yuridis yang amat dibutuhkan.

Indra Tranggono
Pemerhati kebudayaan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Budaya Babak Belur".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Megawati: Mungkin Tampangku Cantik, Pintar, Ratunya PDI-P, tapi Aku Ya 'Ratu Preman' Lho...

Megawati: Mungkin Tampangku Cantik, Pintar, Ratunya PDI-P, tapi Aku Ya "Ratu Preman" Lho...

Nasional
Tanggal 30 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soroti Ketimpangan, Megawati: Bisa Beli Handphone, tapi Risma Nangis Ada Juga yang Tinggal di Kandang Kambing

Soroti Ketimpangan, Megawati: Bisa Beli Handphone, tapi Risma Nangis Ada Juga yang Tinggal di Kandang Kambing

Nasional
Ganjar Pranowo: 17 Poin Rekomendasi Rakernas Beri Gambaran Sikap Politik PDIP

Ganjar Pranowo: 17 Poin Rekomendasi Rakernas Beri Gambaran Sikap Politik PDIP

Nasional
Sambut Pilkada 2024, Megawati Minta Kader PDIP Turun ke Akar Rumput

Sambut Pilkada 2024, Megawati Minta Kader PDIP Turun ke Akar Rumput

Nasional
Besok, Joice Triatman dan Pegawai di Nasdem Tower Jadi Saksi di Sidang SYL

Besok, Joice Triatman dan Pegawai di Nasdem Tower Jadi Saksi di Sidang SYL

Nasional
Bongkar Aliran Uang, KPK Bakal Hadirkan Istri, Anak dan Cucu SYL di Persidangan

Bongkar Aliran Uang, KPK Bakal Hadirkan Istri, Anak dan Cucu SYL di Persidangan

Nasional
Megawati: Posisi Politik PDI-P Selama Ini Diputuskan dalam Kongres Partai

Megawati: Posisi Politik PDI-P Selama Ini Diputuskan dalam Kongres Partai

Nasional
Soal Jatah Menteri untuk Demokrat, Wasekjen: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo...

Soal Jatah Menteri untuk Demokrat, Wasekjen: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo...

Nasional
Rekomendasi Rakernas Kelima PDI-P, Megawati Diminta Kesediaannya untuk Kembali Jadi Ketum

Rekomendasi Rakernas Kelima PDI-P, Megawati Diminta Kesediaannya untuk Kembali Jadi Ketum

Nasional
Pertamina Patra Niaga Terus Tertibkan Operasional SPBE

Pertamina Patra Niaga Terus Tertibkan Operasional SPBE

Nasional
Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Megawati: Ada yang Lama Ikut Katanya Ibu Menghina Sebut Kader, Tahulah Siapa...

Nasional
Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Tunjukkan Sikap Legowo

Pengamat: Permintaan Maaf PDI-P Atas Kadernya yang Melanggar Konstitusi untuk Tunjukkan Sikap Legowo

Nasional
Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Megawati: Sekarang Tuh Hukum Versus Hukum, Terjadi di MK, KPK, KPU

Nasional
Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Ketua DPD PDIP Jatim Said Abdullah Dukung Megawati Soekarnoputri Kembali jadi Ketua Umum PDIP

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com