JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Mochamad Wiraksajaya, mengatakan bahwa korupsi tidak hanya berkutat pada seberapa banyak uang yang dinikmati terdakwa dalam tindak pidana korupsinya. Pemaknaan seperti itu merupakan kemunduran cara pikir dan berhukum dalam pemberantasan korupsi.
"Dalam tindak pidana korupsi, naif kalau menilai tindak pidana korupsi hanya dari berapa banyak uang hasil korupsi yang dinikmati terdakwa," ujar jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/9/2015).
Hal itu disampaikan untuk menanggapi nota keberatan yang diajukan mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali. Dalam keberatannya, Suryadharma selaku terdakwa mengatakan bahwa ia tidak menerima satu rupiah pun dari penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama.
Menurut jaksa, tindak koruptif yang dilakukan Suryadharma tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga keluarga, kerabat, kader Partai Persatuan Pembangunan, dan sejumlah anggota DPR RI. Selain itu, korupsi tidak hanya dinilai dalam bentuk uang.
"Korupsi tidak hanya menguntungkan diri sendiri, tapi juga memperkaya orang lain dan keuntungan yang didapat tidak selalu dalam bentuk uang," kata jaksa.
KPK telah menyita sehelai kain kiswah yang diberikan oleh pengusaha asal Arab Saudi, Cholid Abdul Latief Sodiq Saefudin, kepada Suryadharma. Pemberian kain itu disebut sebagai imbalan untuk Suryadharma karena meloloskan penawaran penyewaan rumah jamaah haji pada tahun 2010 yang diajukan Cholid.
Suryadharma menilai bahwa penyitaan kiswah oleh KPK tidak beralasan. Menurut dia, kiswah itu tidak memiliki nilai ekonomis yang dapat memperkaya dia, tetapi hanya memiliki nilai spiritual.
"Beberapa banyak benda mahal justru bernilai bukan dari nilai intrinsiknya, tapi dari penilaian sisi lainnya seperti faktor historis dan religiusitas," kata jaksa.
Jaksa menilai bahwa Suryadharma selaku Menteri Agama semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, seperti keadilan dan kejujuran. Jaksa juga berpendapat bahwa rekrutmen Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang ditunjuk anggota DPR RI dan Suryadharma penuh dengan praktik kolutif.
"Penyewaan perumahan jamaah haji yang tidak memenuhi standar dan pemanfaataan sisa kuota haji nasional oleh segelintir orang telah mencederai animo masyarakat yang begitu tinggi untuk menunaikan ibadah haji. Hal itu juga merusak rasa keadilan masyarakat, khususnya calon jamaah haji yang masih dalam daftar antrean," kata jaksa.
Dalam kasus ini, Suryadharma didakwa menyalahgunakan wewenang sewaktu menjabat sebagai Menteri Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013. Perbuatannya dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 27.283.090.068 dan 17.967.405 riyal Saudi. Atas perbuatannya, Suryadharma disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.