JAKARTA, KOMPAS - Pragmatisme partai politik dalam pemilihan kepala daerah serentak ditengarai menyebabkan petahana yang kuat terganjal dan akhirnya tidak bisa bertarung dalam pilkada. Hal ini berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, menunjukkan buruknya kaderisasi parpol, dan kuatnya politik transaksional.
Potensi tertundanya pilkada serentak di Kota Surabaya, Jawa Timur, akibat hanya ada satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota menjadi contoh pragmatisme. Parpol dinilai cenderung tak mau berkeringat jika tak melihat peluang besar untuk memenangi pilkada pada 9 Desember mendatang.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, Rabu (2/9) di Jakarta, mengatakan, parpol menggunakan pendekatan pragmatis dengan potensi kemenangan. Akibatnya, parpol hanya mendukung calon yang berpotensi menang. "Ini yang menyebabkan calon tunggal. Kalau mereka (parpol) punya mekanisme kaderisasi kuat, persoalan seperti itu tak akan muncul," katanya.
Menurut Fadli, faktor lain yang memunculkan pragmatisme adalah keputusan koalisi parpol dalam usung-mengusung calon yang didominasi dewan pimpinan pusat partai. Adapun pengurus daerah, yang paling tahu kondisi politik di daerah dan figur internal partai, tak berperan.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafidz menambahkan, dalam kasus Pilkada kota Surabaya, indikasi penjegalan terhadap calon petahana kental terlihat. Meskipun peluang mendaftar masih terbuka, tak ada parpol yang mendaftar. Tercatat, hanya ada satu calon petahana yang didukung satu parpol. Parpol lain justru tak mendaftarkan sama sekali.
"Ini karena parpol punya kecenderungan kuat untuk menang mudah sehingga berpikir ulang jika menghadapi calon kuat. Selain itu, sebagian besar parpol juga hanya mengincar posisi bupati atau wali kota dan tak mau posisi wakil. Ruang gerak pencalonan pun jadi sempit," katanya.
Selain petahana yang tak bisa bertarung karena minim calon, ada beberapa petahana yang mencalonkan diri kembali dari jalur perseorangan. Data dari Sistem Informasi Tahapan Pilkada, tercatat 12 calon petahana yang melaju dari jalur perseorangan. Salah satunya, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari. Di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara, Tigor Panusunan Siregar, yang merupakan bupati petahana, justru pecah kongsi dengan wakilnya, Suhari Pane. Keduanya akhirnya maju dari jalur perseorangan.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi menilai, banyak parpol yang gagal menjalankan tanggung jawab mengusung calon untuk maju ke pilkada. Ini menunjukkan partai-partai belum matang berdemokrasi.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem, menambahkan, parpol sangat bersandar pada perhitungan menang-kalah sehingga mengambil langkah yang hanya menguntungkan dirinya, tetapi merugikan rakyat. (GAL/APA/AGE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 September 2015, di halaman 1 dengan judul "Petahana Terjegal Kepentingan Partai".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.