Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Polri Jangan Buru-buru Memidanakan Orang, Sekarang Pusing Sendiri Kan..."

Kompas.com - 27/08/2015, 08:30 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana, mengkritik langkah Bareskrim Polri dalam pengusutan dugaan penimbunan sapi siap potong. Meski mengapresiasi langkah cepat Bareskrim, menurut Ganjar, Polri tidak melakukan langkah terukur dalam pengusutan perkara itu.

Hal itu terlihat dari proses penyelidikan yang menemui jalan buntu karena penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menindak para pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi pada dua tempat penggemukan di Tangerang, beberapa waktu lalu.

"Poinnya, janganlah Polri buru-buru maunya langsung memidanakan orang. Sekarang jadi pusing sendiri kan? Kalaupun mau demikian, ya harusnya langkahnya terukur," ujar Ganjar saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (27/8/2015) pagi.

Ganjar menjelaskan, langkah terukur yang seharusnya dilakukan Polri adalah memastikan dasar hukum atau rencana konstruksi perkara yang menentukan apakah Polri harus melakukan penyelidikan atau tidak saat menemukan ribuan stok sapi siap potong. Polri tak hanya memiliki fungsi penegakan hukum, tetapi juga menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Untuk ini, pendekatan yang dilakukan adalah sosialisasi. Artinya, tak berarti semua peristiwa pelanggaran harus dikenakan proses pidana.

"Begitu menemukan ada ribuan sapi yang tak dilepas ke pasar, ya bisa kan suruh langsung dilepas saja. Dengan begitu, kondisi kembali ke normal juga, kok," lanjut Ganjar.

Terlebih lagi, sapi yang ditemukan Bareskrim itu hanya berjumlah sekitar lima ribuan ekor.

"Jangan-jangan enggak cuma di dua TKP itu saja yang berhenti melepas sapi ke pasar. Ya yang lainnya harusnya digerebek juga dong, dilakukan proses hukum yang sama," kata dia.

Jika kini penyidik menemui jalan buntu untuk memidanakan pengusaha yang kedapatan menahan stok sapi, Ganjar menyarankan Polri untuk menggunakan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Segala tindak pidana yang terkait ekonomi, lanjut Ganjar, bisa dipidanakan melalui UU tersebut.

Jalan buntu

Sebelumnya, penyelidikan kasus penimbunan sapi di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menemui jalan buntu. Penyidik tak menemukan dasar hukum untuk menjerat pemilik tempat penggemukan (feedlotter) yang menahan stok sapi siap potong.

Awalnya, penyidik yang dipimpin langsung Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso menggerebek dua tempat penggemukan di Tangerang, Rabu (12/8/2015). Pada dua tempat itu, penyidik menemukan 21.933 sapi, yang sekitar 5.000 di antaranya siap potong. Polisi menduga pengusaha menimbun sapi siap potong sehingga menyebabkan gejolak harga di pasaran. Sebab, pada saat itu, harga daging sapi di Jabodetabek telah menyentuh Rp 120.000.

Tiga pemilik tempat penggemukan berinisial BH, PH, dan SH, beberapa orang karyawannya, serta pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan diperiksa atas kasus itu sebagai saksi. Penyidik akan menggunakan Pasal 29 juncto Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan untuk menjerat sang pengusaha tempat penggemukan.

Namun, saat gelar perkara yang dilaksanakan pada Senin (24/8/2015), tiga saksi ahli, yakni pejabat Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, menyebutkan bahwa aksi menahan stok sapi itu tidak termasuk unsur penimbunan barang penting. Dasar saksi ahli itu adalah Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Ayat (1) berbunyi "Dalam hal terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu".

Adapun ayat (2) pasal yang sama berbunyi, "Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal". Artinya, jika rata-rata penjualan di feedlotter itu 150 ekor per hari, jumlah yang masuk kategori penimbunan sekitar 13.000 sapi.

Sementara itu, pada dua feedlotter itu, penyidik hanya mendapati 5.000-an sapi sehingga tidak termasuk kategori penimbunan.

Revisi bukan solusi

Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor E Simanjuntak berharap Presiden merevisi perpres itu. Namun, ia menyadari bahwa revisi itu tak akan terlalu berdampak. Sebab, sebuah peraturan yang baru tidak berlaku surut. Meski Presiden merevisi perpres itu, polisi tetap tidak dapat menjadikannya pegangan untuk memidanakan perbuatan yang terjadi sebelumnya.

Victor mengatakan, pengusutan kasus ini tak akan berhenti. Polisi akan memeriksa saksi ahli dari akademisi untuk mencari celah hukum dalam perkara itu. Selain itu, perkara tersebut juga masih pada tahap penyelidikan sehingga tidak ada mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Kami tetap berupaya yang terbaiklah dalam kasus ini," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com