JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana perombakan kabinet bergulir lagi setelah lebih dari satu semester pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menyimak berbagai pemberitaan, ia menjadi rencana mendesak.
Mengapa selalu ada perombakan dalam kabinet koalisi presidensial? Sejauh mana kekuatan presidensial efektif pasca perombakan kabinet? Perombakan sesungguhnya tak mencerminkan keberhasilan, tetapi bentuk koreksi atas kurang progresifnya kabinet dalam merespons tantangan.
Ada dua penjelasan mengapa perombakan selalu berulang. Keduanya merupakan kutub yang berbeda. Kutub penjelasan pertama terkait dengan derajat kompetensi dan integritas anggota kabinet. Ini semata-mata penilaian kinerja. Asumsinya apabila derajat kompetensi dan integritas rendah, kualitas kinerja menteri juga rendah. Mereka tidak mampu menerjemahkan visi presiden ke dalam kinerjanya di kesempitan waktu sekaligus lemah integritas. Hal terakhir ini dapat dikaitkan dengan fokus mereka yang lebih tertuju ke kepentingan lain selain ke presiden.
Dalam hal ini, kabinet dilihat secara obyektif kinerjanya. Penilaian dilakukan ke setiap menteri apakah bisa bekerja dengan baik dan sinergis dengan presiden. Satu hal yang sering dilewatkan bila secara umum indikator penting di berbagai bidang—terutama ekonomi—anjlok, maka menterilah yang jadi sasaran, bukan presiden. Presiden sebagai pemimpin di atas semua menteri, seperti selalu tetap can’t do no wrong. Karena itu, perombakan kabinet dikesankan sebagai semata-mata masalah menteri, bukan masalah presiden. Padahal, sesungguhnya presiden pun menyumbangkan andil karena memilih mereka.
Yang kedua, kutub konstelasi politik. Ini terkait semata-mata oleh keharusan presiden merespons perkembangan politik makro sebagai dampak dinamika partai politik. Kabinet presidensial punya karakter berbeda dengan kabinet parlementer. Koalisi presidensial jauh lebih cair ketimbang bercorak parlementer. Konsep dan praktik oposisi politiknya tak sejelas sistem parlementer. Dalam sistem kuasiparlementer atau semipresidensial, partai biasa menyatakan posisinya di luar pemerintahan, tetapi tidak dalam konteks oposisi. Dalam banyak kebijakan, mereka yang di luar itu tak jarang justru mendukung penuh pemerintah.