"Sesuai AD/ART, kalau enggak patut, tentu ada sanksi sesuai dengan kesalahannya. Bahkan kalau kesalahannya berat itu sampai PAW (pergantian antar waktu)" kata Ketua DPP Bidang Politik dan Pemerintahan Rusli Effendi di Jakarta, Minggu (17/5/2015).
PPP versi Muktamar Surabaya merasa berwenang untuk melakukan pemecatan kader di DPR. Mereka beralasan bahwa kepengurusan versi muktamar Surabaya merupakan kepengurusan yang sah berdasarkan surat keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
"Hak PAW itu adalah kewenangan DPP yang disahkan Menkumham. Persoalan di DPR masih ada kompromi politik, bagaimana pun asas legalitas yang menjadi masalah utama," ujar Wakil Sekjen PPP Bidang Komunikasi dan Hubungan Media Ahmad Baiquni.
Terkait dengan rencana revisi, DPP PPP menilai revisi undang-undang tersebut lebih didasari pada kepentingan politik untuk mengakomodasi kelompok tertentu.
Di samping itu, PPP yang dipimpin Romahurmuziy ini menilai bukan waktu yang tepat bagi DPR untuk melakukan revisi UU Pilkada dan UU Parpol sekarang. Terlebih, UU Pilkada belum sama sekali dilaksanakan.
DPR dimintanya fokus membahas rancangan undang-undang yang masuk program legislasi nasional 2015. "Hal ini lebih menonjolkan syahwat dan hasrat kekuasaan sehingga mengabaikan kepentingan yang lebih besar," sambung Rusli.
DPP PPP juga menilai lebih baik jika dalam masa reses sekarang ini, anggota DPR menyerap sebanyak-banyaknya aspirasi masyarakat di wilayah pemilihan masing-masing. Rusli pun menyampaikan bahwa pihaknya terus berkomunikasi dengan partai politik lainnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat, yakni koalisi pendukung Pemerintah.
PPP versi Muktamar Surabaya ini juga sudah menyampaikan masukannya kepada pemerintah. "Kita sosialisasikan, sikap kita sudah jelas menolak. Soal dengan Pemerintah, sifatnya komunikasi," kata dia.
Wacana revisi UU Parpol dan UU Pilkada ini muncul setelah KPU menyetujui draf peraturan KPU mengenai parpol yang bersengketa. KPU memberikan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada.
Pada rapat antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, KPU, dan Kemendagri, Senin (4/5/2015) lalu, DPR meminta KPU untuk menyertakan putusan sementara pengadilan sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. (Baca: PDI-P Tolak Revisi UU Jika untuk Layani Golkar-PPP yang Berkelahi)
Namun, KPU menolak karena tidak ada payung hukum yang mengatur hal itu. Akhirnya, DPR sepakat untuk merevisi UU Parpol dan UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum baru
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.