Untuk tahun ini, menurut Marwan, masing-masing desa akan memperoleh Rp 250 juta hingga Rp 280 juta. Hingga 2018 mendatang, ditargetkan setiap desa memperoleh Rp 1,4 miliar. Pemberian dana pembangunan desa ini tidak sembarangan, tetapi disesuaikan dengan jumlah penduduk, luas wilayah, dan hasil rapat musyawarah desa.
"Rapat itu misalnya menentukan irigasi desa, oke membuat irigasi, atau buat jalan desa. Juga BUMN desa, semua berdasarkan rapat musyawarah desa," kata Marwan.
Untuk teknis pencairannya, menurut dia, pemerintah akan menugaskan seorang pendamping untuk mengawasi tiga desa. Pengawasan juga dilakukan melalui inspektorat masing-masing kabupaten dan dari kementerian.
"Idealnya satu desa satu pendamping, tapi karena duitnya belum ada. Mudah-mudahn ke depan satu desa satu pendamping," ujar Marwan.
Ia juga menyampaikan alasan pemerintah fokus pada pembangunan desa di wilayah timur Indonesia. Di samping upaya pemerataan pembangunan, pembangunan desa di wilayah timur diharapkan bisa menciptakan keseimbangan dengan wilayah barat. Di samping itu, wilayah timur dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
"Salah satu pengembangan adalah lewat transmigrasi, karena di sana kan dibangun infrastrukturnya, lahan pertanian dan perkebunan," tutur Marwan.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini juga menekankan pentingnya harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam penyediaan lahan pembangunan. "Karena pemda harus menyediakan itu meskipun Kementerian Agraria sudah diperintahkan Pak Presiden untuk menyediakan tanah 9 juta hektar dalam rangka pemenuhan transmigrasi di luar Jawa," sambung Marwan.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla sebelumnya memastikan bahwa dana desa sebesar Rp 9,1 triliun akan cair pada akhir April setelah proses perubahan nomenklatur lembaga pemerintahan selesai di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Diakui Kalla, keterlambatan pencairan dana desa itu disebabkan oleh adanya perombakan susunan kelembagaan di Kabinet Kerja.