Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dukacita, Sukacita, Nawacita

Kompas.com - 11/04/2015, 15:00 WIB

Oleh: Budiarto Shambazy

JAKARTA, KOMPAS - Sungguh memalukan seorang tokoh penting PDI-P tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di Sanur, Bali, saat bersamaan dengan Kongres PDI-P 2015 yang juga diselenggarakan di Sanur. Ini tamparan keras ke wajah "Moncong Putih" yang dalam kongres itu kembali memilih Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.

A party member itu berubah wujud 180 derajat menjadi a party pooper. Ia merusak suasana sukacita PDI-P yang mencetak prestasi merebut dua kemenangan berturut-turut pada Pemilu dan Pemilu Presiden 2014.

Dari segi kuantitas korupsi, jumlah uang/barang yang ditilep yang bersangkutan mungkin tak begitu besar. Namun, dari segi kualitas operasi tangkap tangan (OTT), bakal mengernyitkan dahi dan membuat berbagai kalangan publik menggeleng-gelengkan kepala.

Bayangkan, begitu nekatnya yang bersangkutan terlibat dalam transaksi korupsi saat menjalani fungsi, tugas, dan kewajiban politik yang katanya mulia. Ia seperti tidak peduli dengan suasana kongres yang ingar-bingar, penuh khidmat, dan bertujuan ideal memperjuangkan ideologi "Moncong Putih".

Tentu bisa diduga yang bersangkutan akan segera disingkirkan dari partai. Ini peluang emas bagi PDI-P untuk menunjukkan keseriusan dalam pembasmian korupsi sekaligus barangkali untuk melakukan pembersihan internal.

Peristiwa memalukan ini menjadi tamparan bagi Megawati karena suka atau tidak berkorelasi dengan pidato politiknya. Saat membuka kongres, Megawati menyinggung apa yang disebutnya "deparpolisasi" atau pengerdilan partai.

Barangkali benar adanya klaim Megawati bahwa pengerdilan tersebut dilakukan pihak-pihak tertentu. Memang terlihat jelas narasi mengenai proses deparpolisasi itu yang dilakukan oleh kalangan nonparpol.

Akan tetapi, proses deparpolisasi itu di mata publik justru dilakukan sendiri oleh partai-partai dan para politisi di dalamnya. Publik yang sering bersikap pukul rata cenderung sinis melihat apa yang dikerjakan partai-partai dan para politisi.

Betul bahwa ada partai-partai dan juga tidak sedikit politisi yang memperlakukan politik sebagai pekerjaan mulia dalam upaya menyejahterakan rakyat. Apa lacur, yang disaksikan sejak Pemilu-Pilpres 2014 justru sebaliknya.

Hanya sehari sebelum OTT di Sanur ini, terjadi pemukulan anggota DPR oleh anggota DPR lain di sela rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Akhir Maret lalu, seorang anggota DPR merokok saat jeda sidang paripurna.

Dan, lebih menggelikan lagi adalah apa yang dialami Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selama beberapa bulan terakhir. Ahok bertekad mengungkap korupsi, tetapi malah dia yang dijadikan korban hak angket DPRD DKI.

Upaya Ahok tersebut direduksi menjadi perilaku dia yang kasar akibat ucapan-ucapan kerasnya. Sementara sejumlah politisi DPRD DKI, termasuk dari PDI-P, juga mengucapkan kata-kata "kebun binatang" dan berbau SARA. Dan, apa yang dilakukan oleh para ketua umum partai di DPRD DKI? Semua bungkam!

Jadi, sesungguhnya yang terjadi bukanlah deparpolisasi semata, tetapi juga demoralisasi yang diperlihatkan oleh partai-partai dan para politisinya. Tidak heran jikalau publik sudah teramat sangat sinis terhadap politik dan juga partai-partai serta para politisi kita.

Pidato Megawati tidaklah keliru, malah mungkin yang terbaik sejauh ini. Ia bagaikan sebuah album "campur sari" yang lengkap menguak kondisi sosial dan politik akhir-akhir ini.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com