Jika menilik kembali sejarah bangsa Indonesia, Pancasila memiliki beberapa dimensi, yang salah satunya adalah dimensi normalitas. Dimensi ini artinya Pancasila mengandung nilai-nilai yang bersifat mengikat masyarakatnya yang berupa norma-norma atau aturan-aturan yang harus dipatuhi atau ditaati yang sifatnya positif.
MPR sebagai rumah rakyat yang bertanggung jawab atas segala peraturan perundang-undangan mencoba merekomendasikan penggunaan Pancasila lewat Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Rekomendasi tersebut bukan tanpa proses, hasil tersebut merupakan solusi dari kajian aspirasi masyarakat Indonesia, sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. H. Bambang Sadono SH. MH – Kepala Badan Pengkajian MPR RI, pada Dialog Pilar Negara yang bertempat di Gedung Nusantara IV MPR RI pada Senin (9/3/2015) lalu.
Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan Indonesia berhasil memberikan rekomendasi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik masa jabatan 2009-2014 sebagai berikut:
Melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 tetap berdasarkan nilai-nilai Pancasila, Pembukaan UUD 1945, mempertahankan bentuk negara kesatuan, sistem pemerintahan presidensil dan melakukan perubahan dengan cara adendum.
Setidaknya ada tiga kelompok yang mempunyai pandangan soal sistem tata negara Indonesia saat ini. Pertama, ada aspirasi yang menganggap bahwa UUD 1945 perlu disempurnakan agar sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Kedua, adanya aspirasi yang menganggap jika perubahan UUD 1945 tidak dilakukan saat ini karena baru saja diubah dan belum sepenuhnya dilaksanakan. Ketiga, adanya aspirasi yang tidak setuju sama sekali terhadap usulan perubahan UUD 1945.
Melakukan reformasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara.
MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan tertinggi akan memandu kesesuaian penyelenggaraan negara dan tujuan negara dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI serta Bhinneka Tunggal Ika. MPR akan memberikan arahan pembangunan nasional kepada pemerintah dan lembaga negara lainnya.
Melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dengan membentuk lembaga kepada semua tingkat pendidikan nasional agar terbentuk karakter bangsa.
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika saat ini telah mengalami pergeseran oleh fundamentalisme, seperti individualisme, liberalisme, pasar, agama, pragmatisme dan hedonisme. Sehingga, MPR merasa perlu untuk mendorong kembali menanamkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
Membentuk lembaga yang akan mengkaji sistem tata negara, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
MPR akan membentuk Lembaga Kajian Konstitusi yang kinerjanya akan menyerap aspirasi masyarakat, mengimplementasikanya dan mendukung MPR. Lembaga Kajian Konstitusi ini terdiri dari para pakar, tokoh nasional, mantan anggota MPR yang berkompeten dan memiliki pengalaman dalam bidang tata negara.
Adanya akuntabilitas publik lembaga negara saat melaksanakan tugas konstitusional melalui laporan kerja dalam Sidang Tahunan MPR RI.
MPR akan menjadi petugas yang akan memantau setiap kinerja lembaga negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sehingga sesuai dengan amanat rakyat. Lembaga tersebut akan diawasi apakah kinerjanya juga sudah sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menata kembali sistem peraturan undang-undang sehingga sesuai dengan Pancasila sebagai dasar hukum negara.
MPR akan melakukan penataan ulang setiap undang-undang agar sesuai dengan Pancasila yang notabenenya adalah cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia. Hal tersebut mengacu pada Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai segala sumber hukum negara.
Perkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem hukum Indonesia.
Sesuai dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, MPR memiliki konsekuensi yuridis. Pertama, soal lembaga negara yang berwenang untuk memutuskan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Ketetapan MPR atau Ketetapan MPR tang bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, MPR berwenang untuk kembali membentuk Ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar (regelling). Terakhir, mengevaluasi Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR yang masih berlaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.