JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo diharapkan mendorong Polri untuk mengadakan gelar perkara khusus terkait proses hukum terhadap Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto di Bareskrim Polri.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, gelar perkara khusus tersebut dapat menjadi celah intervensi hukum bagi Jokowi.
"Pihak yang bisa mendorong hal ini adalah Presiden. Ini celah bagi Jokowi untuk melakukan intervensi pada proses hukum terhadap pimpinan KPK," ujar Miko dalam konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jumat (27/2/2015).
Miko mengatakan, selama ini Jokowi kesulitan untuk menggunakan kewenangannya dalam mengakhiri upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Menurut Miko, melalui gelar perkara, Jokowi dapat mengambil perannya sebagai penengah yang independen.
Miko menjelaskan, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) 14 Tahun 2012, dijelaskan bahwa gelar perkara khusus dapat dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Presiden. Untuk itu, menurut dia, dorongan kepada Polri untuk melakukan gelar perkara khusus adalah tantangan bagi Presiden.
"Kalau Jokowi tidak melerai, ya habislah KPK. Jokowi bisa berperan di sini. Jangan sampai ada pernyataan yang menyebutkan bahwa Jokowi memang terlibat dalam kasus ini," kata Miko.
Sementara itu, kuasa hukum Bambang, Asfinawati mengatakan, jika Kepolisian menolak untuk melakukan gelar perkara khusus, hal itu dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak seorang tersangka untuk mendapat kejelasan mengenai penyidikan.
Asfina mengatakan, dalam gelar perkara khsusus, Presiden dapat menilai apakah tuduhan tindak pidana yang ditujukan kepada Bambang benar-benar memenuhi syarat hukum, atau sengaja dibuat-buat sebagai upaya kriminalisasi.
Pihak Bambang mendorong dilakukannya gelar perkara khusus lantaran ada ketidakjelasan tuduhan terhadap kliennya. Berdasarkan empat dokumen yang diberikan Kepolisian, tuduhan yang dibuat penyidik berubah-ubah. (baca: Pasal Sangkaan BW Berubah-ubah, Bareskrim Diminta Lakukan Gelar Perkara Khusus)
"Tidak ada surat yang sama. Ada pasal tambahan dan tuduhan selalu dikerucutkan," ujar Asfinawati.
Menurut Asfina, pihaknya menduga penyidik Bareskrim Polri selalu mencari-cari kesalahan untuk menambahkan pasal pidana terhadap Bambang. Hal tersebut, kata dia, berbeda dalam mekanisme penetapan tersangka pada umumnya.
Pihak Bambang sempat protes atas perubahan pasal sangkaan. Pada surat penangkapan Bambang tertanggal 23 Januari 2015, tertera pasal sangkaan, yakni Pasal 242 KUHP juncto Pasal 55 KUHP. Pada panggilan pertama, pasal sangkaan Bambang bertambah, yakni Pasal 242 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) kedua KUHP. (Baca: Pasal Sangkaan BW Bertambah, Penyidik Berdalih "Itu Kewenangan Kami")
Sementara itu, pada panggilan kedua, penyidik Bareskrim menambahkan pasal sangkaan atas Bambang, yakni Pasal 242 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) kedua KUHP juncto Pasal 56 KUHP. (Baca: Bantah Ubah Pasal Sangkaan Bambang, Pihak Bareskrim Sebut Hanya Penajaman)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.