JAKARTA, KOMPAS - Rivalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang terulang menunjukkan agenda pemberantasan korupsi rentan terkooptasi kepentingan politik. Publik mengendus kepentingan politik menyandera kedua lembaga itu. Meski terkesan lamban, pemerintah dinilai cermat mencari jalan keluar demi penyelamatan kedua lembaga.
Dalam sepekan terakhir, persoalan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi-Polri ini menyedot perhatian publik. Jajak pendapat menunjukkan mayoritas responden mengikuti pemberitaan kasus ini di berbagai media massa. Selain itu, responden juga mengikuti perkembangan isu dari perbincangan sosial di lingkungan sekitar.
Dalam persepsi publik, ketegangan hubungan KPK-Polri tidak terlepas dari rivalitas parpol ataupun kepentingan politik lainnya. Itu terindikasi dari keteguhan dukungan dari partai pendukung pemerintah terhadap pengajuan calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Di sisi lain, permainan politik di DPR dengan hampir semua fraksi meloloskan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi Gunawan menggambarkan situasi yang tak koheren dengan pembelahan politik dalam kubu Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.
Kuatnya gurita politik di balik kasus ini juga terindikasi dari kebuntuan proses hukum di kedua belah pihak. Saat ini, baik KPK maupun Polri saling menjerat dengan laporan perkara pada masa lalu. Meski demikian, dalam persepsi responden, tekanan politik cenderung lebih besar pada lembaga kepolisian ketimbang KPK. Persepsi ini turut memengaruhi sikap publik yang cenderung memihak lembaga KPK daripada kepolisian dalam rivalitas ini.
Lebih dari separuh responden (62,4 persen) menilai Polri tidak bebas dari kepentingan politik saat menangkap komisioner KPK, Bambang Widjojanto, Jumat (23/1). Proporsi ini lebih besar ketimbang penilaian terhadap KPK bahwa lembaga ini juga terseret rivalitas kepentingan politik (39,7 persen).
Persoalan laten
Manuver politik dalam persoalan hukum ini menjadi keprihatinan publik. Dua lembaga yang seharusnya bersinergi menjadi pilar penegakan hukum di Indonesia justru berseteru dan saling menjegal. Proses hukum pemberantasan korupsi dimanfaatkan sebagai alat kepentingan politik. Selain itu, perseteruan ini juga merongrong legitimasi kedua lembaga, baik melemahkan KPK maupun merusak wibawa Polri. Mayoritas responden menganggap kondisi ini kontraproduktif terhadap penegakan hukum, terutama upaya pemberantasan korupsi (44,3 persen).
Merunut ke belakang, KPK selama ini cenderung memiliki citra yang jauh lebih positif daripada kepolisian. Upaya pelemahan terhadap KPK hampir selalu berujung pada penguatan citra KPK di mata publik. Hal ini terlihat dari rekam jejak citra positif KPK yang menanjak dalam dua tahun terakhir, yakni selalu di atas level 75 persen. Sementara dukungan positif terhadap Polri berada di angka 30,2 persen responden.
Rivalitas KPK-Polri terekam sebagai persoalan laten yang terus berulang sejak KPK dijalankan tahun 2005.
Ketegangan hubungan antara KPK dan Polri pertama kali mencuat pada tahun 2009 dengan analogi "cicak vs buaya", saat komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dikenai sangkaan penyalahgunaan wewenang oleh Polri terkait kasus Anggoro Widjojo. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan dengan membentuk tim independen dalam pencarian fakta kasus ini. Namun, penyelesaian belum memadai sehingga rivalitas kembali mencuat dua tahun kemudian.
Tahun 2011, DPR pernah menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam rapat Tim Pengawas Kasus Century karena keduanya dianggap masih berstatus tersangka meski Kejaksaan Agung sudah mengesampingkan (deponir) perkara ini. KPK-Polri kembali bersitegang terkait kasus penyidik Polri yang bertugas di KPK, Novel Baswedan, pada tahun 2012.
Berulangnya rivalitas merupakan gejala kusutnya persoalan kelembagaan dalam struktur penegakan hukum selain mengindikasikan besarnya tekanan politik dalam setiap persoalan. Hal ini tak lain karena besarnya kekuasaan, kemampuan, dan keberhasilan KPK dalam menyeret sejumlah koruptor kakap yang kerap berujung pada dampak politis bagi partai pengusung sang koruptor. Di sisi lain, lembaga penegak hukum formal, polisi dan jaksa, sejauh ini tidak memiliki rekam jejak yang setara dalam pemberantasan korupsi.
Langkah efektif
Sebagaimana kasus sebelumnya, perseteruan KPK-Polri kali ini juga memaksa presiden turun tangan. Dalam persepsi publik, pemerintah saat ini bersikap proporsional dalam mengatasi persoalan. Lebih dari separuh responden menilai berbagai langkah Presiden Joko Widodo mencerminkan sikap kehati-hatian dalam mengambil keputusan. Namun, sepertiga bagian responden lainnya menganggap langkah tidak tegas sehingga kisruh KPK-Polri menjadi berlarut-larut dan menyandera kedua belah pihak.
Terlepas dari polemik terkait sikap Presiden, sejumlah upaya pemerintah dalam menangani kasus ini secara umum dinilai sesuai harapan publik. Sebagai jalan keluar dari persoalan, bagian terbesar responden jajak pendapat (50,8 persen) menilai pembatalan pencalonan Budi Gunawan dan pengajuan calon lain sebagai Kepala Polri merupakan langkah paling
efektif untuk menghentikan konflik.
Selanjutnya, publik juga menilai pembentukan tim independen oleh Presiden merupakan langkah efektif. Tim independen terdiri dari unsur akademisi, mantan komisioner KPK, dan mantan pejabat Polri. Lebih dari separuh responden meyakini tim yang diketuai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif ini akan bekerja optimal mencari solusi. Namun, tidak sedikit yang pesimistis. Sepertiga responden menyangsikan tim ini akan mampu menghindari tekanan parpol.
Imunitas KPK
Jajak pendapat juga menunjukkan sikap publik terhadap kesetaraan marwah institusi penegak hukum. Dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi, publik tidak serta-merta menempatkan KPK dalam posisi lembaga tinggi yang kebal hukum. Lebih dari separuh responden tak sependapat dengan wacana pemberian hak imunitas terhadap komisioner KPK selama masa jabatan. Meski demikian, publik menyetujui keterlibatan KPK, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dalam seleksi rekam jejak Kepala Polri dan pejabat tinggi negara lainnya.
Saat ini, tinggal pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, menunjukkan langkah taktis menuntaskan persoalan kelembagaan KPK-Polri supaya kasus "cicak-buaya" tidak selalu terulang lagi pada masa mendatang. Sesuai dengan komitmen politiknya, Presiden harus menegakkan hukum yang berkeadilan dan mengembalikan proses hukum pemberantasan korupsi di jalurnya.
(INDAH SURYA WARDHANI/Litbang Kompas)