Oleh: M Fajar Marta
JAKARTA, KOMPAS - Tak dimungkiri, peran Nahdlatul Ulama sangat besar dalam mengawal toleransi kehidupan majemuk masyarakat Indonesia. Namun, peran NU dicemaskan tergerus seiring melemahnya soliditas dan daya tahan NU akibat kemiskinan struktural massa NU di pedesaan. Pemerintah harus membantu memperkuat kapasitas perekonomian dan pendidikan warga nahdliyin mengingat membangun NU sama dengan membangkitkan kejayaan Indonesia.
Sejak didirikan pada 31 Januari 1926 dan dipimpin KH Hasyim Asy'ari, Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama tak pernah lepas dari dinamika kehidupan Indonesia.
NU-lah yang menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, seperti yang dilakukan Wali Songo pada abad ke-14. NU juga ikut memobilisasi perlawanan menghadapi imperialis melalui resolusi jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945.
Di dunia politik, NU pernah menjadi partai politik yang pada Pemilu 1955 mengumpulkan suara terbanyak ketiga secara nasional.
Namun, sejak 1984, NU kembali ke khittah-nya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bertujuan menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (Aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai nasionalisme dan Negara Kesatuan RI.
Sejak inilah NU kemudian banyak memelopori gerakan Islam kultural dan penguatan masyarakat sipil. Paham Aswaja yang dianut serta disosialisasikan keluarga besar NU dapat diterima masyarakat Indonesia karena menonjolkan sikap toleran dan moderat.
Di bidang akidah, misalnya, NU mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dan ekstrem naqli (skripturalis). Itu karena sumber pemikiran NU berasal dari Al Quran, Sunah, kemampuan pikir, dan realitas empirik. Pola pikir tersebut dirujuk dari teolog besar Islam seperti Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Di bidang fikih, NU juga menerima semua mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Adapun di bidang tasawuf, NU mengintegrasikan tasawuf dan syariat seperti metode ajaran Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.
Dengan pola dan paham seperti itu, NU pun berkembang dalam masyarakat Indonesia yang didominasi rakyat jelata yang hidup di pedesaan sebagai petani, terutama di tanah Jawa.
Kiai menjadi sentral dalam pergerakan NU bersama dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Hingga era Orde Baru, masyarakat agraris dan pesantren di desa-desa yang notabene basis pendukung NU masih mendapat tempat dan perhatian dalam roda pembangunan.
Namun, arus globalisasi dan kapitalisasi yang makin kencang sejak era reformasi telah memarjinalkan sektor pedesaan.
Kemajuan teknologi dan komunikasi membuat sektor industri dan jasa lebih berkembang ketimbang sektor tradisional seperti pertanian. Ditambah lagi dengan ketidakmampuan pemerintah mempertahankan dan mengembangkan keunggulan agraris Indonesia.