Oleh: Ayu Siantoro
KOMPAS.com - Darmi (56) fasih bertutur tentang Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, Kaesang Pangarep, serta ibunda mereka, Iriana, saat kumpulan dasawisma dengan para tetangganya di sebuah desa di Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta. Padahal, Darmi tak kenal sama sekali, apalagi bersua, dengan ketiga orang tersebut. Kedekatan emosional terhadap Joko Widodo, sang ayah yang menjadi idola Darmilah, yang menggiring ia merasa dekat dengan keluarga tersebut.
Tak dapat dimungkiri, media massa berperan besar membuat publik merasa dekat secara personal dengan tokoh idolanya meskipun tak pernah bertemu. Namun, kedekatan tersebut semu, karena sang tokoh idola tidak merasakan hal yang sama. Hal itu disebut sebagai relasi parasosial atau relasi sosial satu arah.
Istilah parasosial pertama kali digulirkan pada tahun 1956 oleh Donald Horton dan Richard Wohl, ahli media berkebangsaan Amerika Serikat.
Relasi parasosial terbentuk dari respons publik terhadap tokoh-tokoh yang sering tampil di media massa. Media massa menjadi perantara komunikasi antara tokoh dan pengguna media.
Komunikasi tersebut bersifat satu arah, karena perilaku tokoh dapat diamati oleh pengguna media, sebaliknya perilaku pengguna media tidak teramati. Akibatnya, pengguna media merasa dirinya dekat dengan tokoh idola meskipun tidak pernah berinteraksi secara langsung.
Bagai kata pepatah, tak kenal, maka tak sayang, publik dapat dengan mudah mengidolakan tokoh tertentu karena sering muncul di media. Contoh paling nyata terjadi pada tahun ini yang diwarnai dua kali pemilihan umum tingkat nasional dan pergantian pemerintahan.
Banyak tokoh politik diekspose oleh media secara intensif dalam jangka waktu cukup lama. Publik menjadi kerap terpapar pemberitaan tentang beragam tokoh politik.
Tak heran, tokoh dengan jenis profesi tersebut diidolakan oleh dua dari tiga responden dalam jajak pendapat Litbang Kompas ini. Bahkan, selebritas yang dikenal memiliki banyak penggemar pun ”kalah” karena hanya diidolakan oleh sekitar 16 persen publik.
Selain sering muncul di media, setidaknya ada tiga alasan seseorang dalam mengidolakan tokoh, yaitu penampilan fisik, kualitas kepribadian, dan pencapaian atau keahlian (Schramm& Harmann, 2008). Dari hasil jajak pendapat ini diketahui bahwa lebih dari separuh publik mengidolakan tokoh karena pencapaiannya, misalnya mengagumi keahlian, kepandaian berbicara, atau ilmu yang dimiliki tokoh (51,3 persen). Kualitas kepribadian yang baik dan bermoral menjadi alasan berikut dalam mengidolakan seorang tokoh (32,5 persen).
Hanya satu di antara sepuluh responden yang menyukai tokoh karena penampilan fisiknya (10,3 persen).
Relasi parasosial
Bagaimanakah cara mengetahui bahwa seseorang membangun relasi parasosial dengan tokoh idolanya? Secara sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari apakah seorang penggemar memiliki pemikiran, perasaan, dan melakukan tingkah laku tertentu terkait tokoh yang
diidolakan.
Dari ketiga aspek tersebut dapat diketahui pula sejauh apa hubungan parasosial yang terbangun. Penggemar dengan relasi parasosial yang dalam akan semakin banyak memikirkan, merasakan, dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tokoh idolanya.
Ciri hubungan parasosial adalah perhatian kepada tokoh idola. Seorang penggemar cenderung ingin mengetahui kegiatan tokoh idolanya dengan memperhatikan dan mencari tahu informasi melalui media massa. Hal itu dilakukan oleh sekitar 67 persen publik yang mengakui selalu tertarik pada kabar pemberitaan mengenai tokoh idola mereka.