Oleh: Frans Sartono
KOMPAS.com - Revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Itu pandangan Sudaryanto, doktor linguistik yang puluhan tahun mencurahkan perhatian dan pikirannya pada bahasa.
Hiruk-pikuk kehidupan, termasuk kehidupan di panggung politik, tidak lepas dari peran bahasa. Ada yang menggunakan bahasa untuk menusuk perasaan, menyakiti, mengutuk. Orang lupa pada fungsi hakiki bahasa yaitu untuk mengembangkan akal budi, dan memelihara kerja sama.
Ketika akal budi tidak dikembangkan, ketika kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa, maka hasilnya? Mungkin hiruk-pikuk di pentas politik, dan peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan menjelaskan hasil tersebut. Meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan....
Bahasa diberikan kepada manusia itu sebenarnya untuk apa? Bertahun-tahun Sudaryanto, doktor linguistik yang lulus dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1979, itu mencoba mengidentifikasi fungsi bahasa. Ada dua fungsi bahasa yang ia sebut sebagai khas dan hakiki yaitu mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama.
Sejauh ini orang mengidentifikasi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Itu bukan spesifikasi bahasa. Untuk alat komunikasi, bukan bahasa verbal pun bisa. Apa pun yang keluar dari hati bisa diungkapkan. Tapi, untuk mengungkapkan isi hati, kan, tidak harus dengan bahasa. Dengan tindakan, dengan kesenian juga bisa kok. Dengan kata lain kita sebetulnya belum mengidentifikasi fungsi bahasa itu sebetulnya untuk apa.
Saya sebagai orang yang terjun di bidang bahasa berusaha memikirkan betul-betul, mestinya kalau orang diberikan bahasa verbal, mestinya ada fungsi yang khas. Fungsi yang hanya bisa dijalankan oleh bahasa, dan tidak mungkin oleh yang lain. Saya mengidentifikasi fungsi bahasa yang khas dan sangat hakiki ada dua, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama.
Akal budi itu hubungannya dengan kesadaran. Akal budi itu, kan, agar untuk orang menjadi sadar, dan yang disadari itu mestinya nilai-nilai. Mengembangkan nilai-nilai, akal budi, itu hanya bisa lewat bahasa verbal ini.
Untuk memelihara kerja sama, juga hanya dengan bahasa?
Kalau hanya untuk kerja sama saja, tanpa untuk memelihara, itu bisa saja tanpa bahasa. Wong kita neson-nesonan (saling marah) saja masih bisa kerja sama kok. Tapi, untuk memelihara harus pakai bahasa. Jadi, tampaknya dua fungsi itu yang esensial dan tak bisa digantikan dengan yang lain. Saya sendiri sudah puluhan tahun berusaha menentang pendapat saya ini, tapi tidak bisa. Karena hanya dengan bahasa verbal itulah kita bisa memelihara.
Konflik politik, diselesaikan dengan bahasa?
Setiap ada konflik, entah itu taraf lokal, nasional seperti yang terjadi DPR, atau bahkan kelas dunia, mau tak mau harus kembali menggunakan bahasa verbal, dialog, musyawarah. Ketika ada konflik Israel dengan Palestina, mereka harus berdialog, musyawarah. Mereka menggunakan bahasa verbal tadi.
Seperti juga ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia menggunakan dialog dengan pedagang kaki lima. Dialog tidak sekali, tapi sampai sekian puluh kali, dalam sekian bulan. Karena kalau tidak ada dialog, tidak dengan bahasa, ya tidak bisa. Kalau kita menyadari fungsi hakikinya, orang tidak akan bisa semena-mena menggunakan bahasa.
Mengapa?