Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/09/2014, 05:00 WIB
KOMPAS.com - Pada 18 Oktober 2011 malam, Ruang Kredensial atau ruang terdepan di Istana Merdeka terang benderang. Waktu itu hampir pukul 20.00. Tak lama lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono akan memasuki Ruang Kredensial untuk mengumumkan perombakan kabinet.

Berbaju batik coklat, Yudhoyono memasuki ruangan. Ia lalu berdiri di podium. ”Dalam reshuffle kali ini, ada dua pos parpol yang berkurang untuk mewadahi kaum profesional yang tidak berasal dari parpol. Kaum profesional diperlukan untuk meningkatkan efektivitas,” kata Presiden kepada jurnalis.

Efektivitas selalu menjadi kata kunci yang sering disebut-sebut dalam penyusunan kabinet, tidak hanya pada era Yudhoyono, tetapi juga sejak era Presiden Soekarno. Jika kerja kabinet efektif, pemerintah diharapkan akan berkinerja sangat baik sehingga rakyat sejahtera.

Namun, faktanya, memilih menteri tak sesederhana menunjuk direktur perusahaan. Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan, tak sekadar menunjuk yang profesional dan pintar.

Menteri adalah jabatan politik. Pemilihan menteri sepenuhnya wewenang presiden yang dijamin konstitusi atau disebut sebagai hak prerogatif. Lalu, apakah Presiden akan bisa seenaknya memilih orang-orang yang dikehendakinya? Tentu tidak. Sebagai pemimpin negara dan pemerintahan, Presiden akan mempertimbangkan banyak hal untuk memilih menteri demi stabilitas pemerintahannya. Tanpa stabilitas, efektivitas pemerintahan taruhannya.

Aspek profesionalisme, integritas, dan kepemimpinan disebut-sebut menjadi pertimbangan utama dalam memilih menteri. Namun, sebagaimana yang dilakukan SBY selama sepuluh tahun terakhir, faktor representasi etnis, agama, kelompok, dan parpol juga menjadi bahan pertimbangan.

Pada reshuffle Oktober 2011, seperti berusaha memenuhi harapan publik, Yudhoyono mengurangi jumlah menteri dari parpol. Jumlah menteri dari Partai Demokrat dikurangi satu orang, menjadi lima orang. Jumlah menteri dari PKS juga dipangkas satu orang, menjadi tinggal tiga orang.

Menteri Riset dan Teknologi, yang dijabat Suharna Surapranata dari PKS, digantikan Gusti Muhammad Hatta, seorang akademisi nonparpol. Gusti, sebelumnya menjabat Menteri Lingkungan Hidup, lahir di Banjarmasin, tumbuh besar di Martapura (Kalimantan Selatan), serta menjadi profesor di Universitas Lambung Mangkurat. Ia tokoh Banjar di kabinet.

Dua kader Partai Demokrat di kabinet, Darwin Zahedy Saleh (Menteri ESDM) serta Freddy Numberi (Menteri Perhubungan) yang orang Papua, dicopot. Namun, sebagai gantinya, hanya dimasukkan satu kader, yakni Amir Syamsuddin, di posisi Menteri Hukum dan HAM.

Darwin diganti Jero Wacik, satu-satunya orang Bali dan Hindu di kabinet, yang sebelumnya Menteri Pariwisata dan Kebudayaan. Mari Elka Pangestu, sebelumnya Menteri Perdagangan, menggantikan Jero dan kementeriannya diubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mari berlatar belakang keturunan Tiongkok serta beragama Katolik. Jero kini mundur karena menjadi tersangka kasus korupsi.

Sebagai pengganti Gusti, dipilih Balthasar Kambuaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ia satu-satunya orang Papua di dalam kabinet.

Peristiwa penggantian menkeu paling bombastis terjadi pada Mei 2010. Ketika itu, tekanan politik sangat besar dengan memainkan isu bail out Bank Century, tertuju kepada Yudhoyono untuk segera mencopot Sri Mulyani. Sebelum bertugas menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani dikenal berseberangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Salah satu buktinya, sekitar dua tahun sebelumnya, ia tidak setuju perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk, perusahaan milik Bakrie, dihentikan. Bagi Sri Mulyani, tidak ada alasan untuk menghentikan perdagangan saham emiten tersebut. Di sisi lain, ada pihak yang menghendaki perdagangan saham Bumi Resources dihentikan supaya nilainya tidak anjlok terus-menerus.

Didului ingar-bingar

Sama seperti reshuffle Oktober 2011, reshuffle kabinet pemerintahan Yudhoyono pada Mei 2007 juga didahului ingar-bingar. Dalam periode pertama pemerintahan Yudhoyono itu, berpekan-pekan sebelum perombakan kabinet dilakukan, politisi berbagai partai menyuarakan tekanan agar kabinet dikocok ulang sehingga kinerja pemerintahan membaik. Tekanan juga muncul dari pengamat dan akademisi.

Seperti merespons tekanan publik, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra serta Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dicopot. Keduanya dipersoalkan karena ditengarai berkaitan dengan pencairan dana lebih dari Rp 100 miliar milik Tommy Soeharto.

Akomodasi kekuatan politik terbukti selalu menjadi pertimbangan setiap kali reshuffle ataupun penyusunan kabinet.

Tantangan menyusun kabinet mungkin kini sudah dihadapi presiden terpilih Joko Widodo. Pasti ada begitu banyak permintaan, tekanan, kecaman, hingga manuver politik dari berbagai arah. Tak ada salahnya Jokowi belajar dari dinamika penyusunan dan kocok ulang kabinet, satu dekade terakhir. Intinya, meramu kabinet tidak seperti minum jamu: sekali tenggak semua penyakit hilang. (A Tomy Trinugroho)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Sumber hhhhhhhhhh
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Nasional
Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Nasional
Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Nasional
Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Nasional
RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

Nasional
Dugaan Korupsi di LPEI: Kerugian Ditaksir Rp 2,5 Triliun, Ada 6 Perusahaan Lain yang Tengah Dibidik

Dugaan Korupsi di LPEI: Kerugian Ditaksir Rp 2,5 Triliun, Ada 6 Perusahaan Lain yang Tengah Dibidik

Nasional
Empat Anggota DPRD Kota Bandung Dicecar Soal Dugaan Titipan Proyek

Empat Anggota DPRD Kota Bandung Dicecar Soal Dugaan Titipan Proyek

Nasional
Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Nasional
Dukungan ke Airlangga Mengalir Saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan Jadi Ketum Golkar

Dukungan ke Airlangga Mengalir Saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan Jadi Ketum Golkar

Nasional
Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Dibangun mulai September Tahun Ini

Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Dibangun mulai September Tahun Ini

Nasional
KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif 'Fee Proyek' yang Biasa Dipatok ke Pengusaha

KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif "Fee Proyek" yang Biasa Dipatok ke Pengusaha

Nasional
Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Nasional
Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Nasional
Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Nasional
RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com