JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pakar hukum dan pemilu menyatakan sikap menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) yang menentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memilih langsung kepala daerah di tingkat kabupaten/kota.
"Jika kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, maka hal tersebut disebut inkonstitusional dan inkonsistensi," ujar pakar pemilu yang juga advisor Kemitraan Ramlan Surbakti, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (5/9/2014).
Ramlan kemudian merujuk Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis serta Pasal 1 tentang bentuk negara republik dan kesatuan. Menurut Ramlan, undang-undang tersebut sebaiknya dipahami melalui penafsiran konstitusi secara sistemik.
Pemilihan kepala daerah seharusnya mengikuti pemilihan langsung seperti pada pemilihan presiden. "Sistem pemerintahan kita presidensial, bukan parlementer. Maka mekanismenya juga harus sama, harus konsisten," kata Ramlan.
Selain itu, Ramlan juga mengatakan, keberadaan kepala daerah dilandasi oleh azas otonomi daerah. Otonomi daerah tersebut menjamin pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga masyarakat diberi wewenang untuk memilih dan mengisi jabatan tersebut.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun kembali menegaskan pasal dalam UUD 1945 mengenai pemilihan kepala daerah secara demokratis. Refly mengatakan, makna demokrasi yang paling sederhana adalah, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pertemuan tersebut, ia juga menolak pernyataan bahwa pemilihan kepala daerah langsung oleh DPRD bisa menghemat anggaran agar lebih efisiensi.
Refly justru beranggapan, pemilihan langsung oleh DPRD semakin berpotensi menimbulkan praktek money politic.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.