Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR 2014-2019, Pesimistis Terjadi Perubahan

Kompas.com - 30/08/2014, 17:42 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 diprediksi tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan DPR saat ini. Meski mayoritas anggotanya adalah wajah baru, DPR mendatang diperkirakan tetap sulit menjalankan legislasi, pengawasan, dan anggaran dengan optimal.

”Walaupun anggota DPR petahana hanya sekitar 43 persen, mereka tidak sekadar mewarnai, tetapi juga mengerti permainan anggaran di DPR. Anggota DPR yang mengandalkan transaksi politik saat pemilu akan lebih berkonsentrasi untuk mengupayakan agar biaya politik yang dikeluarkannya segera kembali,” kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, di Jakarta, Jumat (29/8).

Berdasarkan kajian Formappi, dari 560 anggota DPR 2014-2019, sebanyak 243 orang (43,4 persen) di antaranya adalah petahana dan 317 orang (56,6 persen) merupakan wajah baru. Latar belakang pekerjaan anggota DPR mendatang terbesar adalah politisi (45,7 persen) kemudian pengusaha (32,5 persen).

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menuturkan, Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah berupaya menutup celah praktik korupsi yang mungkin dilakukan anggota DPR, yaitu dengan memangkas kewenangan DPR membahas hingga satuan III. Pembahasan hingga satuan III membuat anggota DPR mengetahui belanja dan jenis kegiatan yang akan dilakukan sebuah kementerian/instansi serta memperdagangkan informasi dan proyek tersebut.

Namun, Donal menilai, masih ada celah lain yang bisa dimainkan oleh anggota DPR mendatang, yaitu memengaruhi pihak eksekutif agar bisa dikelola oleh perusahaan yang terafiliasi dengan anggota DPR tertentu.

”Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang baru untuk menutup lubang-lubang permainan anggaran,” ujar Donal.

Untuk mengatasi permainan anggaran ini, menurut Donal, pemerintahan mendatang perlu membuang organ sekaligus orang yang menjadi masalah di instansinya. Pemerintah baru harus membangun sistem agar hanya orang baik yang mengisi jabatan strategis.

Secara terpisah, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Panji Anugrah Permana, mengkhawatirkan adanya migrasi oligarki dari tingkat lokal ke nasional. Pasalnya, banyak politisi lokal, seperti mantan bupati dan anggota DPRD, yang menjadi anggota DPR. Kondisi ini masih diperparah masuknya sejumlah kerabat elite atau orang kuat di partai ke parlemen.

Para elite lokal dan kerabat orang kuat itu dikhawatirkan membuat kebijakan-kebijakan untuk melindungi kepentingan elite lokal ataupun parpol. ”Itu harus dikritisi,” katanya.

Rekrutmen

Pemerhati pemilu, Harun Husein, mengatakan, ada korelasi antara kinerja DPR dan pola rekrutmen parpol serta sistem pemilu. Rendahnya kinerja DPR terjadi karena kesalahan parpol dalam merekrut caleg.

Partai lebih memilih orang-orang populer, seperti pesohor atau anak-anak pejabat, karena ingin memperoleh suara terbanyak. Mereka dipilih terutama bukan karena memiliki kemampuan, melainkan karena populer atau memiliki modal untuk mendulang suara. Kondisi ini merupakan dampak negatif dari sistem pemilu saat ini yang menggunakan sistem keterpilihan dengan suara terbanyak. ”Dampaknya ke DPR, kinerjanya menjadi rendah,” katanya.

Anggota DPD asal Riau, Abdul Gafar Usman, memprediksi, wajah DPD mendatang juga tidak akan banyak berubah dibandingkan dengan DPD sebelumnya. (NTA/ANA/OSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com