"Waktu itu karyawan disuruh ke kantor, dokumen disuruh bakar semua," kata Direktur Operasional PT Dutasari Citralaras Roni Wijaya, saat bersaksi dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dengan terdakwa Anas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (29/8/2014).
Namun, menurut Roni, dokumen-dokumen itu ternyata tidak dibakar. Machfud malah menyimpan dokumen catatan keuangan tersebut di rumahnya. Roni juga membenarkan bahwa Machfud pernah merekayasa bukti kasus Hambalang yang berupa audit perusahaan. Selain itu, Roni mengaku pernah diminta Machfud untuk mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan ketika diperiksa di persidangan nanti. Keterangan yang diminta dihapus berkaitan dengan akta mundur PT Dutasari Citralaras.
"Jadi ada BBM masuk ke teman-teman, saya minta tolong untuk tidak memberi keterangan masalah akta mundur itu," ujar Roni.
Menurut Roni, Machfud memerintahkan agar nama istri Anas, Athiyyah Laila dihapuskan dalam akta kepemilikan saham PT Dutasari Citralaras. Machfud, kata dia, meminta hal itu dilakukan setelah kasus wisma atlet meledak, sekitar 2011. Namun, menurut dia, akta perubahan kepemilikan PT Dutasari sengaja dibuat mundur, yakni pada 2009. Waktu pengunduran diri Athiyyah dibuat menjadi 2009 padahal menurut Roni perubahan kepemilikan saham PT Dutasari dilakukan pada 2011.
Adapun PT Dutasari merupakan salah satu perusahaan subkontraktor proyek Hambalang. Perusahaan itu mendapat proyek pengerjaan mekanikal elektrikal dari PT Adhi Karya selaku pelaksana proyek. Perusahaan ini juga mendapatkan pengerjaan subkontraktor pembangunan gedung pajak dari PT Adhi Karya pada 2008 senilai Rp 80 miliar.
Selain itu, menurut Roni, PT Dutasari mengerjakan proyek pembangunan rumah jabatan DPR pada 2010 senilai Rp 21 miliar, dan proyek di Kementerian Agama senilai Rp 10 miliar antara 2009-2010. Anas didakwa menerima hadiah atau janji terkait proyek Hambalang dan proyek lain.
Dalam dakwaan, Anas disebut telah mengeluarkan dana senilai Rp 116, 525 miliar dan 5,261 juta dollar Amerika Serikat untuk keperluan pencalonannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat itu. Uang itu berasal dari penerimaan Anas terkait pengurusan proyek Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan proyek lain yang dibiayai APBN yang didapat dari Permai Group. Selain menerima gratifikasi, Anas didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014. Nilai pencucian uang Anas sekitar Rp 23,8 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.