Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW: Mayoritas Pelaku Korupsi dari Pejabat Daerah, Merata di Seluruh Indonesia

Kompas.com - 03/08/2014, 16:30 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Aradila Caesar menyatakan, mayoritas pelaku tindak pidana korupsi merupakan pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah di tingkat Kabupaten, Kotamadya, maupun Provinsi. Arad mengatakan, sebanyak 101 pejabat daerah yang didakwa melakukan korupsi secara merata di berbagai wilayah di Indonesia.

"Dilihat dari hasil pemantauan ICW, yang korupsi paling banyak dari pejabat daerah," ujar Arad di Sekretariat ICW, Jakarta, Minggu (3/7/2014).

Arad mengatakan, jumlah koruptor dari kalangan pejabat daerah tersebut meningkat dibandingkan semester pertama sejak dua tahun sebelumnya. Berdasarkan pemantauan ICW di semester pertama tahun 2012, sebanyak 48 terdakwa dan pada semester pertama tahun 2013 sebanyak 60 terdakwa.

Latar belakang koruptor lainnya sebanyak 51 terdakwa dari swasta, 33 terdakwa dari staf Badan Usaha Milik Negara, 12 terdakwa dari anggota DPR dan DPRD, 10 terdakwa dari kementerian, 9 terdakwa dari perguruan tinggi, 7 terdakwa dari kalangan perbankan, masing-masing 6 terdakwa dari kepala daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan, 2 orang advokat, dan masing-masing seorang dari aparat penegak hukum dan kalangan rumah sakit.

Arad mengaku belum tahu penyebab pasti tingginya angka koruptor dari kalangan pejabat daerah. Ia menduga, pemerintahan daerah menjadi 'lahan basah' para pejabat setempat untuk meraup keuntungan banyak dan memperkaya diri.

"Kita belum sejauh itu menelusuri, apakah sektor barang dan jasa sebagai lahan korupsi yang paling besar di daerah," ujarnya.

Pengawasan di Daerah Minim

Pendapat senada juga diutarakan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho. Ia menduga, korupsi di daerah masih terjadi secara masif karena lemahnya pengawasan penegak hukum terhadap para pejabat daerah.

"Korupsi masih merata di daerah, otonomi jadi automoney. Sistem pengawasannya tidak cukup optimal sehingga mendorong mereka masif melakukan praktek korupsi, " kata Emerson.

Arad menambahkan, dua kasus korupsi yang dilakukan pejabat daerah itu termasuk ke dalam empat kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara paling besar. Ia menyebutkan, kasus korupsi pengadaan kapal latih SMK 2 yang dilakukan mantan Kepala Dinas Pendidikan Bontang, Ahmad Mardjuki, menyebabkan kerugian sebesar Rp 514 triliun.

Kemudian ada juga kasus korupsi dana subfungsi pendidikan tinggi oleh Mantan Kepala Bagian Program dan Informasi Sekretariat Badan PPSDMK Departemen Kesehatan RI, Syamsul Bahri yang menyebabkan kerugian sebesar Rp 293,5 triliun.

ICW melakukan pemantauan dengan mengumpulkan data perkara korupsi yang diperiksa dan diputus pengadilan tingkat pertama di pengadilan Tipikor, banding di Pengadilan Tinggi, kasasi, maupun upaya peninjauan kembali di Mahkamah Agung dalam rentang 1 Januari hingga 30 Juni 2014.

Sumber yang menjadi acuan dalam pengumpulan data adalah putusan pengadilan dari laman resmi Mahkamah Agung maupun Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, serta pemberitaan media massa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com