Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi Haji, Masalahnya Bukan Membayar Ongkos atau Tidak..

Kompas.com - 23/07/2014, 23:05 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa mengusut dugaan keterlibatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ikut dalam rombongan haji Suryadharma Ali selaku Menteri Agama 2012, meski pun anggota DPR tersebut naik haji secara tidak gratis.

Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, hal yang menjadi masalah bagi KPK bukan ada atau tidaknya ongkos haji yang dibayarkan anggota DPR dalam rombongan Menag tersebut, melainkan penggunaan sisa kuota calon jamaah haji oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan Suryadharma, termasuk sejumlah anggota DPR.

"Masalahnya bukan bayar atau tidak. Anggota DPR kan mewakili rakyat, memperjuangkan kepentingan rakyat. Sedangkan kalau sudah ada rakyat yang bertahun-tahun daftar haji dengan dibarengi jual sawah, kerbau, gadaikan alat rumah tangga, harusnya dia bisa berangkat, tapi jatahnya diambil orang-orang yang memiliki previlage karena satu partai," kata Busyro di Jakarta, Rabu (22/7/2014).

Penggunaan kuota haji oleh pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan Suryadharma ini dianggapnya mengorbankan kepentingan rakyat. Pola pengelolaan kuota haji yang sarat nepotisme ini, menurut Busyro, bisa merusak demokrasi. Dia juga mengatakan bahwa KPK akan memaparkan buruknya pengelolaan haji tersebut dalam surat dakwaan Suryadharma Ali yang akan dibacakan dalam persidangan nanti.

"Sehingga publik bisa tahu bahwa ini loh model pengelolaan ibadah haji yang berlangsung bertahun-tahun," ujar dia.

Penggunaan kuota haji untuk kroni-kroni menteri ini juga dinilai Busyro sebagai bentuk disfungsi Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) haji yang dibangun Kemenag. Sistem teknologi tersebut sedianya bisa menjadikan pelaksanaan haji transparan dan tersistem. Pengelolaan Siskohat ini, kata Busyro, menjadi salah satu hal yang diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi haji yang menjerat Suryadharma.

"Mengapa sheet (kursi) yang kosong tidak diberikan jamaah haji di daerah-daerah dengan usia yang lebih tua dulu? Kan ada Siskohat, semua sudah computerized, sudah online, jadi untuk tahu di Jakarta ada 10 kursi kosong karena di Jabar ada yang meninggal, sistem bisa bekerja, oh mana yang lebih tua, Papua satu, Sleman berapa, itu bisa diketahui. Tapi ini kan tidak," tutur Busyro.

Terkait dengan kasus dugaan korupsi haji, KPK telah memanggil sejumlah anggota DPR dan keluarga Suryadharma yang diduga ikut dalam rombongan haji yang menggunakan sisa kuota calon jamaah haji. Anggota DPR yang dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi bagi Suryadharma di antaranya, Reni Marlinawati dan Irgan Chairul Mahfiz.

Lembaga antikorupsi itu juga memanggil suami Reni, Mochamad Amin, istri Irgan, Wardatun N Soenjono, serta sejumlah politikus PPP lainnya, yakni Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Banten Muhammad Mardiono, beserta istri, Etty Triwi Kusumaningsih, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan Joko Purwanto dan istrinya, Deasy Aryan Larasati.

Seusai diperiksa, Reni mengaku tetap membayar ongkos haji meski pun ikut dalam rombongan Menag.

Hal senada disampaikan Mardiono. Untuk naik haji bersama istrinya, Mardiono mengaku telah merogoh kocek Rp 200 juta. Mardiono mengaku mendesak untuk ikut dalam rombongan Menag dengan alasan tidak ingin mengantre seperti jemaah calon haji lainnya jika ikut rombongan menteri.

Selain itu, KPK telah memanggil anggota keluarga Suryadharma yang diduga ikut memanfaatkan sisa kuota calon haji, di antaranya, istri Suryadharma, Wardatul Asriah, menantu Suryadharma Ali, yakni Rendhika Deniardy Harsono, serta lima adik Suryadharma, yaitu Elyati Ali Said, Anwar Musyadad Ropiudin, Mimik Ismiasih B Sawojo, Dewi Sri Masitho, dan Neneng Lasmita Susanti.

Saat ditanya apakah KPK bisa menjadikan orang yang ikut dalam rombongan haji itu sebagai tersangka, Busyro mengatakan bahwa kemungkinan itu bisa terjadi selama KPK menemukan dua alat bukti yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi terkait mereka.

"Bisa saja, apalagi kalau penyelenggara negara, ada alat bukti yang menyertainya, tidak menutup kemungkinan," ujar Busyro.

Terkait penyelenggaraan haji 2012/2013, KPK menetapkan Suryadharma sebagai tersangka. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu diduga melakukan penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara.

Modus penyalahgunaan wewenang dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang diduga dilakukan Suryadharma, antara lain dengan memanfaatkan dana setoran awal haji oleh masyarakat untuk membiayai pejabat Kementerian Agama dan keluarganya naik haji. Di antara keluarga yang ikut diongkosi adalah para istri pejabat Kementerian Agama.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan laporan hasil analisis transaksi mencurigakan yang memperlihatkan bahwa Suryadharma mengajak 33 orang berangkat haji. KPK juga menduga ada penggelembungan harga terkait dengan katering, pemondokan, dan transportasi jemaah haji.

Sebelumnya, KPK memeriksa sejumlah politikus PPP yang diduga ikut dalam rombongan Suryadharma. Seusai diperiksa, politikus PPP Reni Marlinawato yang juga anggota DPR mengaku tetap membayar ongkos meskipun dia ikut dalam rombongan Menag.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Usul Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Sinyal Kepemimpinan Lemah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com