Berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan.
Matthew Kieran
Kampanye politik para calon presiden dan calon wakil presiden menjelang 9 Juli telah meramaikan jagat kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia internasional akhir-akhir ini.
Dalam menyemarakkan pesta demokrasi ini, media—baik cetak maupun elektronik—tentulah punya peran sangat dominan. Tak bisa dimungkiri bahwa pemberitaan melalui media massa punya pengaruh sangat besar dalam memengaruhi persepsi publik. Tidak heran, beberapa media nasional pun terindikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan penyimpangan dalam pemberitaan menjelang pemilihan presiden 9 Juli nanti (Kompas, 4/6/2014).
Beberapa media mengeksploitasi kekurangan pasangan calon tertentu yang bertujuan untuk menjatuhkan. Kampanye negatif pun marak disuguhkan kepada publik hari ini. Benarlah kata Kieran di atas bahwa berita tidaklah dibentuk dari ruang yang hampa. Berita diproduksi dari ideologi yang dominan. Ideologi itulah yang memengaruhi framing (pembingkaian) dalam pemberitaan. Oleh karena itu, publik seharusnya memahami ideologi di balik sebuah media.
”Framing” dan ideologi
Dalam dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan menyajikan fakta itu sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki media tersebut.
Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi juga memengaruhi bagaimana sesuatu itu dibahasakan sehingga menghasilkan makna atau pesan yang berbeda.
Di situlah letak kekuatan bahasa yang mampu menguasai publik yang mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri tidak terlepas dari bahasa. Maka, media pun bertarung dalam bahasa yang dibingkai, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi atau kepentingan dari media tersebut.
Penulis yakin sebagian besar rakyat Indonesia yang menonton kontestasi politik hari ini mengatakan Jokowi-JK baik dan Prabowo-Hatta kurang baik, atau sebaliknya, lebih karena pemberitaan lewat media. Bukan karena mengetahui secara dekat tokoh tersebut.
Proses pembingkaian dalam pemberitaan oleh beberapa media inilah yang mendapatkan perhatian dari KPI. Media televisi seperti TVOne, RCTI, MNC TV, dan Global TV memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Model pembingkaian pemberitaan yang berbeda tersebut tentulah dipengaruhi oleh kepentingan (ideologi) dari masing- masing media, di mana ideologinya lebih banyak ditentukan oleh kepemilikan media tersebut. TVOne, misalnya, lebih banyak memberikan porsi pemberitaan untuk pasangan Prabowo-Hatta karena Aburizal Bakrie selaku pemiliknya adalah koalisi politik Prabowo-Hatta dalam menghadapi pilpres mendatang.
Begitupun RCTI, MNC TV, dan Global TV yang dinilai lebih berpihak pada pasangan nomor urut satu tersebut karena Hary Tanoesoedibjo, pemiliknya, berlabuh ke gerbong Prabowo-Hatta setelah gagal mendapatkan target politiknya bersama Wiranto dan partainya, Hanura.
Sementara MetroTV cenderung mengangkat pasangan Jokowi-JK karena pemiliknya, Surya Paloh—yang juga Ketua Umum Nasdem—bergabung dalam barisan Jokowi-JK. Itulah yang memengaruhi perbedaan dalam proses membingkai dan membahasakan apa pun terkait dengan pasangan tersebut.
Seperti itulah peran media dalam kontestasi politik untuk memilih pemimpin 9 Juli nanti. Tentu banyak media lokal lainnya yang terperangkap oleh ideologi dari pemiliknya dalam membingkai berita terkait dengan kedua pasangan tersebut, mengangkat atau menjatuhkan.