Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warisan Yudhoyono

Kompas.com - 08/05/2014, 16:16 WIB


Oleh: Eep Saefulloh

Sejarah Reformasi mengajarkan, mempertahankan kekuasaan di tengah sistem demokratis yang dinamis dan kompetitif tantangan tak mudah.

Pergantian cepat dari Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, lalu ke Megawati Soekarnoputri, kemudian ke Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan itu. SBY-lah yang kemudian terbukti bisa mengelola tantangan tak mudah itu. Jika tak ada aral melintang, 20 Oktober 2014 nanti usia kepresidenannya genap 10 tahun. Pertanyaannya, dengan berkesempatan memimpin satu dekade, adakah yang diwariskan SBY? Jika ada, apa?

Kepemimpinan adaptif

Warisan penting SBY adalah memperkenalkan sebuah gaya baru dalam kepemimpinan politik. Saya ingin menyebutnya "kepemimpinan adaptif". Gaya kepemimpinan adaptif adalah resep di balik sukses SBY bertahan dua termin. Alih-alih bertarung secara keras dengan politisi dan partai-partai, SBY justru beradaptasi dengan mereka. Adaptasi dilakukan SBY terutama ketika berhadapan dengan tiga hal: (1) preferensi publik pada isu-isu politik dan ekonomi besar; (2) kepentingan politisi dan partai-partai untuk ikut memerintah (dan menikmati keuntungan darinya); dan (3) potensi resistensi parlemen berkaitan kebijakan pokok.

SBY adalah presiden yang dilahirkan oleh sistem pemilihan presiden langsung. Ia tahu benar suara pemilih adalah palu hakim yang bisa memvonis dirinya (dan partai yang ia kelola) dengan kejam dalam pemilu berikutnya. Karena itu, ia tahu benar arti penting menampilkan wajah ramah di hadapan pemilih. Bagi SBY, popularitas di hadapan calon pemilih adalah vital, sekalipun bukan segalanya.

Bagi pemimpin adaptif, kebijakan terbaik adalah kebijakan populis. Jika perlu, aspek teknokratis dari kebijakan bisa sewaktu-waktu diabaikan atas nama pemeliharaan popularitas. Tetapi, SBY tahu, vonis publik itu terutama mengancam saat pemilu mendekat. Di luar masa pemilu, ia berbagi kue secara layak dengan para politisi dan partai-partai jadi keharusan yang tak terhindarkan. Maka, dalam dua termin pemerintahannya, SBY senantiasa berusaha menghimpun lebih dari 75 persen kekuatan partai dalam rangkulan koalisinya (76,4 persen dalam periode 2004-2009 dan 75,5 persen selama 2009-2014).

Dalam praktiknya, koalisi tambun itu memang berjalan terseok-seok karena miskin disiplin. Tapi, harus diakui, tanpa koalisi ini, SBY mudah didorong ke pinggir jurang oleh lawan politiknya. Sekalipun miskin disiplin, dalam keadaan genting, koalisi itu bisa berlaku sebagai pagar di sepanjang tebing jurang itu. Persoalannya, koalisi besar minus disiplin akan bekerja berbasis "teori" Annie dan teman-temannya. Dalam buku anak bergambar, Annie and the Wild Animals (1985), Jan Brett menceritakan pertemanan manis Annie dengan para binatang penghuni sebuah hutan musim dingin. Annie senang membagikan kue jagung ke teman-temannya. Tapi, makin lama ia makin direpotkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah kue jagungnya yang terbatas dan jumlah pencari kue yang terus bertambah. Makin hari situasi pertemanan semakin rawan pertikaian. Hanya kemampuan Annie beradaptasi dengan tuntutan para pemakan kue yang bisa menyelamatkan keadaan.

Begitulah, SBY beradaptasi dengan keadaan semacam itu dengan cara membiarkan banyak kebijakan pokok dikelola oleh tiap-tiap peserta koalisi. Prinsip kerjanya ”politik swalayan”. Para peserta koalisi dibiarkan mencari cara sendiri memetik keuntungan dari pos dan jabatan yang sudah terbagi. Yang diperlukan dari sang pemimpin hanya sikap permisif. Berbagai kasus di peradilan korupsi yang melibatkan banyak pejabat dan sejumlah kementerian adalah buah dari prinsip kerja politik swalayan itu.

Menilik apa yang sudah dan sedang dilakukan SBY dalam konteks di atas, tak dibutuhkan perdebatan sengit untuk menyebut SBY ”sang master adaptasi politik”. Kepiawaiannya beradaptasi mengingatkan kita pada salah satu unsur hukum evolusi: yang kerap kali bisa bertahan bukanlah yang paling kuat, tapi yang paling adaptif.

Warisan sistemik

Kepiawaian adaptasi politik SBY selama dua termin telah membuat SBY bisa menggapai banyak ”capaian harian”. ”Capaian harian” adalah keberhasilan kinerja pemerintahan mengelola kebijakan sehari-hari. Indikatornya data statistik pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, jumlah orang miskin, dan lain-lain.

Tapi, inilah pokok persoalannya. Di bawah kendali politik adaptasi, capaian harian mesti digapai dengan biaya amat mahal: terbengkalainya perbaikan sistemik. Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan sibuk mengurusi capaian harian, tapi abai pada penguatan sistem demokrasi. Walhasil, sulit menemukan warisan sistemik SBY. Akibat tak ada penataan sistemik yang saksama, sekadar contoh, mekanisme transaksi makin mencengkeram dan memenjarakan demokrasi. Dalam 10 tahun terakhir, tak ada langkah berarti SBY untuk menata pendanaan politik (political financing) yang sangat krusial bagi kesehatan sistem demokrasi.

Ada tiga jenis langkah yang semestinya dilakukan. Pertama, mengatur aliran masuk dana ke politisi dan partai. Dalam kerangka ini, yang diregulasi batas atas jumlah dana yang boleh diterima, mekanisme akuntabilitas publiknya, dan transparansi informasi aliran dana masuk itu.

Kedua, mengatur ihwal dana keluar dari politisi dan partai. Selayaknya diatur dalam kaitan ini batas atas pembelanjaan iklan politik dan dana kontestasi, proporsi besaran dana kontestasi dengan situasi keuangan daerah/nasional tempat kompetisi berlangsung, mekanisme akuntabilitas publiknya, dan transparansi aliran dana keluar itu.

Ketiga, mengatur larangan berikut sanksinya bagi praktik balas budi finansial. Aspek ini berkait dengan larangan bagi para penyumbang dana bagi politisi dan partai untuk mendapat imbal balik melalui kebijakan-kebijakan yang memihak setelah politisi dan partai itu mengendalikan jabatan publik. Dalam 10 tahun terakhir, SBY hanya berhasil menyentuh aspek pertama dan abai pada dua aspek sisanya. Langkah sepertiga hati ini pun tak menghasilkan perbaikan sistemik. Dibandingkan keadaan 2004, keadaan transaksi politik berbasis politik uang saat ini alih-alih membaik, malah jauh lebih buruk.

Mengapa kita berharap pada presiden sementara partai-partai dalam parlemen sama-sama punya otoritas membuat regulasi? Sederhana: regulasi pendanaan politik yang akan meredam politik transaksi berbasis uang akan serta-merta ditolak partai karena bakal mengganggu kepentingan pragmatis mereka. Sebagaimana terjadi di banyak negara demokrasi baru, presidenlah selayaknya jadi petarung politik dan memperjuangkan regulasi krusial semacam itu berhadapan dengan politisi dan partai penentangnya. Tapi, prinsip kepemimpinan adaptif menjauhkan SBY dari kualitas petarung politik itu. Ia justru sibuk beradaptasi dengan kepentingan pragmatis politisi dan partai. Atas nama adaptasi, prinsip kerja kepemimpinannya menjadi ”ketika pemilu presiden usai, bakti pada negara dimulai, tapi bakti pada partai tak boleh berakhir”.

Di luar contoh politik uang, cengkeraman transaksi, dan regulasi pendanaan politik itu, kita bisa membuat daftar panjang contoh lain setara. Semua menunjukkan, sukses SBY bertahan menggunakan jurus kepemimpinan adaptif membuatnya tak meninggalkan warisan sistemik bagi penyehatan demokrasi. Walhasil, menjelang akhir masa jabatannya, SBY akan bersusah payah menjawab pertanyaan: ”Warisan sistemik apakah yang Anda tinggalkan untuk Indonesia?”

EEP SAEFULLOH FATAH
Pendiri dan Pemimpin PolMark Indonesia Inc, Pusat Riset dan Konsultasi Political Marketing

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Hari Ini, Gaspol Ft Sudirman Said: Pisah Jalan, Siap Jadi Penantang Anies

Nasional
Habiburokhman: Judi 'Online' Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Habiburokhman: Judi "Online" Meresahkan, Hampir Tiap Institusi Negara Jadi Pemainnya

Nasional
Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Baru 5 dari 282 Layanan Publik Pulih Usai PDN Diretas

Nasional
Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Penerbangan Garuda Indonesia Tertunda 12 Jam, Jemaah Haji Kecewa

Nasional
Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Perdalam Pengoperasian Jet Tempur Rafale, KSAU Kunjungi Pabrik Dassault Aviation

Nasional
Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Cek Harga di Pasar Pata Kalteng, Jokowi: Harga Sama, Malah di Sini Lebih Murah

Nasional
Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Kasus Korupsi Pengadaan Lahan JTTS, KPK Sita 54 Bidang Tanah dan Periksa Sejumlah Saksi

Nasional
Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Jokowi Klaim Program Bantuan Pompa Sudah Mampu Menambah Hasil Panen Padi

Nasional
Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Soal Izin Usaha Tambang Ormas Keagamaan, Pimpinan Komisi VII Ingatkan Prinsip Kehati-hatian dan Kepatutan

Nasional
Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Jokowi Pastikan Beras Bansos Berkualitas Premium, Tak Berwarna Kuning dan Hitam

Nasional
Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Minta Pemerintah Tetapkan Jadwal Pelantikan Kepala Daerah, Ketua KPU: Kalau Tak Ada, Bakal Repot

Nasional
Terima Kunjungan Delegasi Jepang, Kepala BNPT Perkenalkan Program Deradikalisasi

Terima Kunjungan Delegasi Jepang, Kepala BNPT Perkenalkan Program Deradikalisasi

Nasional
Mutasi Polri, Brigjen Suyudi Ario Seto Jadi Kapolda Banten, Brigjen Whisnu Hermawan Jadi Kapolda Sumut

Mutasi Polri, Brigjen Suyudi Ario Seto Jadi Kapolda Banten, Brigjen Whisnu Hermawan Jadi Kapolda Sumut

Nasional
Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Pakar Hukum Minta Bandar Judi Online Dijerat TPPU

Nasional
Pemerintah Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Kementerian/Lembaga Dibiarkan Hilang

Pemerintah Tak Bayar Tebusan ke Peretas PDN, Data Kementerian/Lembaga Dibiarkan Hilang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com