Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghindari Koalisi Rapuh

Kompas.com - 07/05/2014, 15:10 WIB


KOMPAS.com
- SETELAH hasil pemilu legislatif diketahui melalui penghitungan cepat (quick count) suara, calon presiden dan pemimpin parpol sibuk menggalang koalisi untuk mengusung capres.

Selama pemilu presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif secara berturutan, dan hasil pemilu legislatif menjadi syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, situasi seperti itu akan berulang setiap lima tahun. Oleh karena itu, terjadinya koalisi rapuh pada pemerintahan SBY-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono menjadi bahan pelajaran penting bagi usaha pembentukan pemerintahan kuat dan efektif.

Dalam khazanah ilmu politik dikenal dua faktor pendorong pembentukan koalisi (Riker, 1962; Swan, 1973; Gallanger, Laver, Mair, 1992; Lipjhart, 1922). Faktor pertama adalah kesamaan ideologi atau jarak ideologi yang tidak terlalu jauh antarpartai (ideologically-connected coalition). Di sini partai-partai bersepakat merebut kekuasaan demi merealisasikan ideologinya dalam kehidupan bernegara.

Faktor kedua adalah keharusan untuk memenangkan pertarungan politik (minimal-winning coalition). Di sini pemilihan mitra koalisi ditentukan berdasarkan (kemungkinan) perolehan suara atau kursi dalam parlemen. Partai akan berhenti mencari mitra ketika sudah mencapai kemenangan minimal 50 persen+1. Koalisi jenis ini rentan karena tidak ada hubungan ideologis. Untuk mengikatnya, mereka membuat platform politik bersama.

Koalisi pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono tentu masuk kategori koalisi jenis kedua. Tak ada kesamaan ideologis karena partai beraliran developmentalisme dan Islam menyatu dalam pemerintahan. Yang jadi masalah, koalisi ini dibentuk tanpa platform politik sehingga kebijakan pemerintah dan tindakan partai anggota koalisi tidak jelas arahnya. Partai sibuk mempertahankan dan merebut jabatan.

Tentu pemerintahan SBY-JK maupun SBY-Boediono akan membantah jika disebut tidak memiliki platform politik. Setidaknya mereka memiliki visi, misi, dan program yang memang diharuskan oleh UU sebagai bahan kampanye. Masalahnya, jika visi, misi, dan program itu bisa disebut sebagai platform politik, apakah platform politik itu disusun dan disepakti bersama oleh anggota koalisi? Jawabannya adalah tidak. Visi, misi, dan program itu sudah dibuat terlebih dahulu oleh tim SBY-JK dan SBY-Boediono sebelum koalisi dibentuk.

Inilah yang menjelaskan mengapa dalam kampanye pemilu presiden partai tidak berperan, bahkan sekadar menjadi juru kampanye saja. Pemimpin partai tidak bisa karena mereka tidak memahami visi, misi, dan program calon presiden dan wakil presiden yang diusungnya.

Ini pula yang bisa menjelaskan mengapa SBY-JK dan SBY-Boediono sering mengganti menterinya selama masa kerja karena beberapa menteri dinilai tidak kapabel. Hal itu terjadi karena di satu pihak SBY-JK dan SBY-Boediono tidak leluasa menunjuk menteri (yang dinilainya kapabel menjalankan visi, misi, dan programnya) dari partai anggota koalisi. Sebab, partai sudah menentukan nama calon menteri saat tergabung dalam koalisi.

Di pihak lain, partai juga tidak punya kesempatan untuk menyusun visi, misi, dan program yang sesuai dengan kapasitas calon menteri yang ditawarkannya karena visi, misi, dan program sudah telanjur dibikin tim SBY-JK dan SBY-Boediono.

Sumber masalah

Kelemahan internal pemerintah tersebut menyulut hubungan pemerintah-parlemen karena partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah menggunakan anggotanya di DPR untuk melakukan manuver politik guna mempertahankan dan merebut kursi kabinet. Akibatnya, banyak rancangan kebijakan SBY-JK dan SBY-Boediono mendapatkan tantangan atau hambatan dari parlemen meskipun, setelah tawar-menawar, partai koalisi di parlemen menyetujuinya.

Apabila ditelusuri, sumber kerapuhan koalisi terletak pada sempitnya waktu untuk membangun koalisi sehingga unsur pimpinan partai terjebak kepentingan pragmatis semata: bagi-bagi kursi kabinet. Mereka tak punya waktu menyusun platform politik bersama karena usaha membangun koalisi baru dimulai setelah hasil pemilu legislatif diketahui.

Padahal, jarak antara diketahuinya hasil pemilu legislatif dan hari pencalonan presiden hanya satu bulan (pekan pertama April hingga pekan kedua Mei). Masih beruntung ada quick count yang mempercepat diketahuinya hasil pemilu sementara. Sebab, jika harus menunggu hasil pemilu resmi, baru diketahui pada pekan ketiga April.

Sumber kerapuhan kedua adalah proses pembentukan koalisi bertahap sebagai dampak dari jadwal pemilu legislatif dan pemilu presiden yang berurutan. Pada Pemilu 2004, setelah pemilu legislatif, terbentuklah koalisi Partai Demokrat, PBB, dan PKPI yang mengusung pasangan SBY-JK.

Setelah pemilu presiden putaran kedua, anggota koalisi bertambah, yaitu PAN, PKB, PPP, dan PKS. Ujungnya, setelah pilpres putaran kedua, masuk Partai Golkar. Demikian juga yang terjadi pada Pemilu 2009. Awalnya koalisi Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, dan PPP mengusung pasangan calon SBY-Boediono, lalu setelah pilpres masuk Partai Golkar.

Pembentukan koalisi bertahap itu menimbulkan ketegangan-ketegangan politik internal koalisi. Di satu pihak, partai-partai yang terlebih dahulu membangun koalisi merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih banyak karena mereka telah bertaruh dan bekerja lebih banyak. Di lain pihak, partai yang bergabung terakhir juga merasa berhak mendapat kursi kabinet lebih banyak karena jumlah kursi di parlemen paling banyak. Dalam bahasa Partai Golkar, mereka tidak mau hanya jadi bemper pemerintah di DPR, sementara kursi kabinetnya sedikit.

Berbagi program

Ketegangan internal pemerintahan tersebut berpengaruh terhadap pengambilan keputusan bertele-tele di DPR karena partai-partai koalisi berupaya memaksimalkan posisinya untuk mempertahankan dan merebut kursi kabinet lebih banyak. Politik transaksional pun tak terhindarkan karena ketegangan rebutan kursi kabinet bisa dikompensasi dalam bentuk lain: jabatan di luar kabinet, kebijakan yang menguntungkan patron partai, perizinan, tender proyek, dan lain-lain.

Didik Supriyanto Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nasional
Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Nasional
Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Nasional
Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Hari ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Nasional
Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Nasional
Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Nasional
Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Nasional
Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Makkah

Nasional
Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Nasional
Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Survei IDEAS: Penghasilan 74 Persen Guru Honorer di Bawah Rp 2 Juta

Nasional
Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas KPK Tunda Putusan Sidang Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Jokowi Minta Relokasi Rumah Warga Terdampak Banjir di Sumbar Segera Dimulai

Nasional
JK Sampaikan Duka Cita Wafatnya Presiden Iran Ebrahim Raisi

JK Sampaikan Duka Cita Wafatnya Presiden Iran Ebrahim Raisi

Nasional
PKS: Kami Berharap Pak Anies Akan Dukung Kader PKS Sebagai Cagub DKJ

PKS: Kami Berharap Pak Anies Akan Dukung Kader PKS Sebagai Cagub DKJ

Nasional
Pilih Bungkam Usai Rapat dengan Komisi X DPR soal UKT, Nadiem: Mohon Maaf

Pilih Bungkam Usai Rapat dengan Komisi X DPR soal UKT, Nadiem: Mohon Maaf

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com