JAKARTA, KOMPAS.com - Hiruk-pikuk politik nasional pascapemilu legislatif terasa makin kencang. Elite-elite semua partai mulai bergerilya, di atas tanah dan bahkan mungkin di bawah tanah. Target utamanya adalah koalisi untuk masuk gerbong kekuasaan selanjutnya.
Hasil pileg yang ketat menjadi pemicunya. Prediksi banyak lembaga survei bahwa akan ada partai yang akan mendominasi perolehan suara, ternyata meleset. Padahal, saat ini perolehan suara pun belum menjadi data resmi, beragam pelanggaran seolah diabaikan, masih banyak pula potensi kecurangan.
Berdasarkan hasil hitung cepat, semua parpol memang harus berkoalisi untuk dapat mengusung calon presiden. Setidaknya, keharusan koalisi itu merujuk perkiraan perolehan suara berdasarkan hitung cepat itu, belum menghitung konversi kursi.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai, dinamika politik tahun ini lebih dahsyat ketimbang sebelumnya. Pasalnya, politik terkini berkaitan dengan peralihan kekuasaan dan tak ada petahana yang kembali maju sebagai calon presiden.
Semakin dahsyat ketika semua parpol kasak kusuk ke sana-sini padahal hasil akhir pileg belum ditetapkan. Sibuk cari tandem berkoalisi padahal warna tinta biru di jari masih membekas. "Ini aneh, tangan belum bersih dari tinta pemilu kok pemimpin partainya sudah pesta bersama?" kata Arie, Minggu (13/4/2014).
Berburu koalisi di tengah sarat kecurangan
Keadaan ini, kata Arie, akan menimbulkan kebingungan publik. Bagaimana tidak, bila partai politik sudah sibuk memetakan jalan koalisi, padahal di saat bersamaan ada proses pemilu yang sarat dengan kecurangan tapi seperti diacuhkan. Soal politik uang, misalnya.
Berdasarkan data dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melakukan pemantauan di 1.005 tempat pemungutan suara di 25 provinsi di Indonesia, terjadi kecurangan di 33 persen TPS. JPPR secara eksplisit menyebut temuan kecurangan itu bermodus politik uang.
Di antara modus-modus yang ditemukan, adalah pembagian uang tunai dengan kisaran Rp 10.000 sampai Rp 200.000, atau barang berupa sembako, alat ibadah, pulsa, pakaian, hingga polis asuransi. "Kecurangan ini terbukti secara sosiologis, tapi sulit dibuktikan secara hukum karena enggak ada yang berani ngomong," ucap Arie.
Jika terus didiamkan, bukan tidak mungkin hasil pemilu tahun ini tak akan banyak mengubah penilaian publik pada aktor politik. Parlemen dan pemerintah yang berkuasa hanya akan mendapat setengah kepercayaan rakyatnya. Bisa jadi jauh lebih rendah. "Partai jangan memikirkan diri sendiri, nanti hasilnya akan sama, akan banyak mendapat kritik," harap Arie.
Rakyat Harus Bicara
Dalam kondisi memperihatinkan ini, kata Arie, cara yang paling tepat untuk memperbaiki situasi adalah gelombang rakyat bersuara. Aspirasi dapat ditumpahkan melalui media sosial dan forum diskusi akademisi serta ruang-ruang lain yang menyuarakan harapan rakyat itu sendiri.
"Masyarakat harus berani menyampaikan keinginannya," kata Arie. Semua parpol harus bersedia merespons, setidaknya memberikan bukti bahwa perjuangan mereka benar-benar untuk bangsa, bukan untuk ambisi pribadi semata.
Gelombang aspirasi publik dapat berguna untuk memberi peringatan pada semua parpol agar tak bermanuver seenaknya. Di balik agenda untuk berkuasa, masih banyak janji pada rakyat yang harus dipenuhi. Dalam bahasa Arie, "Sudahlah, publik sudah jengah dimonopoli. Parpol juga jangan merasa mendapat angin, sibuk bagi-bagi kue dengan cara yang menggelikan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.