Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Partai Abaikan Kecurangan dan Berebut Kue Koalisi...

Kompas.com - 14/04/2014, 06:58 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hiruk-pikuk politik nasional pascapemilu legislatif terasa makin kencang. Elite-elite semua partai mulai bergerilya, di atas tanah dan bahkan mungkin di bawah tanah. Target utamanya adalah koalisi untuk masuk gerbong kekuasaan selanjutnya.

Hasil pileg yang ketat menjadi pemicunya. Prediksi banyak lembaga survei bahwa akan ada partai yang akan mendominasi perolehan suara, ternyata meleset. Padahal, saat ini perolehan suara pun belum menjadi data resmi, beragam pelanggaran seolah diabaikan, masih banyak pula potensi kecurangan.

Berdasarkan hasil hitung cepat, semua parpol memang harus berkoalisi untuk dapat mengusung calon presiden. Setidaknya, keharusan koalisi itu merujuk perkiraan perolehan suara berdasarkan hitung cepat itu, belum menghitung konversi kursi.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, menilai, dinamika politik tahun ini lebih dahsyat ketimbang sebelumnya. Pasalnya, politik terkini berkaitan dengan peralihan kekuasaan dan tak ada petahana yang kembali maju sebagai calon presiden.

Semakin dahsyat ketika semua parpol kasak kusuk ke sana-sini padahal hasil akhir pileg belum ditetapkan. Sibuk cari tandem berkoalisi padahal warna tinta biru di jari masih membekas. "Ini aneh, tangan belum bersih dari tinta pemilu kok pemimpin partainya sudah pesta bersama?" kata Arie, Minggu (13/4/2014).

Berburu koalisi di tengah sarat kecurangan

Keadaan ini, kata Arie, akan menimbulkan kebingungan publik. Bagaimana tidak, bila partai politik sudah sibuk memetakan jalan koalisi, padahal di saat bersamaan ada proses pemilu yang sarat dengan kecurangan tapi seperti diacuhkan. Soal politik uang, misalnya.

Berdasarkan data dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melakukan pemantauan di 1.005 tempat pemungutan suara di 25 provinsi di Indonesia, terjadi kecurangan di 33 persen TPS. JPPR secara eksplisit menyebut temuan kecurangan itu bermodus politik uang.

Di antara modus-modus yang ditemukan, adalah pembagian uang tunai dengan kisaran Rp 10.000 sampai Rp 200.000, atau barang berupa sembako, alat ibadah, pulsa, pakaian, hingga polis asuransi. "Kecurangan ini terbukti secara sosiologis, tapi sulit dibuktikan secara hukum karena enggak ada yang berani ngomong," ucap Arie.

Jika terus didiamkan, bukan tidak mungkin hasil pemilu tahun ini tak akan banyak mengubah penilaian publik pada aktor politik. Parlemen dan pemerintah yang berkuasa hanya akan mendapat setengah kepercayaan rakyatnya. Bisa jadi jauh lebih rendah. "Partai jangan memikirkan diri sendiri, nanti hasilnya akan sama, akan banyak mendapat kritik," harap Arie.

Rakyat Harus Bicara

Dalam kondisi memperihatinkan ini, kata Arie, cara yang paling tepat untuk memperbaiki situasi adalah gelombang rakyat bersuara. Aspirasi dapat ditumpahkan melalui media sosial dan forum diskusi akademisi serta ruang-ruang lain yang menyuarakan harapan rakyat itu sendiri.

"Masyarakat harus berani menyampaikan keinginannya," kata Arie. Semua parpol harus bersedia merespons, setidaknya memberikan bukti bahwa perjuangan mereka benar-benar untuk bangsa, bukan untuk ambisi pribadi semata.

Gelombang aspirasi publik dapat berguna untuk memberi peringatan pada semua parpol agar tak bermanuver seenaknya. Di balik agenda untuk berkuasa, masih banyak janji pada rakyat yang harus dipenuhi. Dalam bahasa Arie, "Sudahlah, publik sudah jengah dimonopoli. Parpol juga jangan merasa mendapat angin, sibuk bagi-bagi kue dengan cara yang menggelikan."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hujan Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi hingga 22 Mei, Kewaspadaan Perlu Ditingkatkan

Hujan Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi hingga 22 Mei, Kewaspadaan Perlu Ditingkatkan

Nasional
Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Nasional
BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

Nasional
Sekian Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

Sekian Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

Nasional
Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

Nasional
Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

Nasional
Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

Nasional
MK Akan Tentukan Lagi Status Anwar Usman dalam Penanganan Sengketa Pileg

MK Akan Tentukan Lagi Status Anwar Usman dalam Penanganan Sengketa Pileg

Nasional
Sidang Putusan Praperadilan Panji Gumilang Digelar Hari Ini

Sidang Putusan Praperadilan Panji Gumilang Digelar Hari Ini

Nasional
Mati Suri Calon Nonpartai di Pilkada: Jadwal Tak Bersahabat, Syaratnya Rumit Pula

Mati Suri Calon Nonpartai di Pilkada: Jadwal Tak Bersahabat, Syaratnya Rumit Pula

Nasional
Anak SYL Minta Uang Rp 111 Juta ke Pejabat Kementan untuk Bayar Aksesori Mobil

Anak SYL Minta Uang Rp 111 Juta ke Pejabat Kementan untuk Bayar Aksesori Mobil

Nasional
PKB Mulai Uji Kelayakan dan Kepatutan Bakal Calon Kepala Daerah

PKB Mulai Uji Kelayakan dan Kepatutan Bakal Calon Kepala Daerah

Nasional
SYL Mengaku Tak Pernah Dengar Kementan Bayar untuk Dapat Opini WTP BPK

SYL Mengaku Tak Pernah Dengar Kementan Bayar untuk Dapat Opini WTP BPK

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Lembaga Penyiaran Berlangganan Punya 6 Kewajiban

Draf RUU Penyiaran: Lembaga Penyiaran Berlangganan Punya 6 Kewajiban

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com