Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Habisnya Hakim Konstitusi Generasi Pertama

Kompas.com - 07/04/2014, 10:00 WIB


KOMPAS.com - AKHIR Maret lalu, Mahkamah Konstitusi melepas hakim paling seniornya. Harjono telah menjadi hakim konstitusi sejak MK berdiri pada 2003. Ia mengucapkan sumpah pertama kali sebagai hakim MK di hadapan Presiden Megawati Soekarnoputri, 16 Agustus 2003, bersama dengan Jimly Asshiddiqie, Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Abdul Mukthie Fadjar, M Laica Marzuki, Soedarsono, dan Maruarar Siahaan.

Satu per satu, hakim-hakim tersebut meninggalkan MK. Terakhir, 24 Maret lalu, Harjono menanggalkan jubah dan melepas sebutan ”Yang Mulia” 10 tahun terakhir. ”Saya kembali ke habitat saya, sebagai akademisi,” ungkap penggemar gamelan dan wayang tersebut.

Harjono mengalami dua periode MK, yaitu keemasan dan kejatuhan. MK menuai puncak kesuksesan pada masa Jimly dan Mahfud MD, ketika begitu banyak pihak memuji dan menyanjung MK. Tak hanya di dalam negeri, MK begitu dikenal dalam pergaulan internasional.

Menjelang akhir masa jabatannya, 2 Oktober 2013, Harjono mengalami kejatuhan MK. Penangkapan Ketua MK Akil Mochtar salah satu sebabnya. Ia terlibat dugaan suap dalam penanganan sejumlah perkara pilkada yang sejak 2008 jadi salah satu kewenangan MK. Pembuat UU sepakat melimpahkan penanganan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke MK.

Namun, peran Harjono di MK justru kian bersinar pada pengujung kariernya sebagai hakim konstitusi. Ia menjadi hakim konstitusi yang paling sering dicari karena perannya sebagai Ketua Majelis Kehormatan MK untuk pelanggaran etik yang dilakukan Akil.

Dalam pidato perpisahannya, Harjono mengungkapkan, taruhan sebuah lembaga kekuasaan kehakiman agar independen adalah kredibilitas. Selama hakimnya kredibel, kekuasaan kehakiman independen. Jika tak kredibel, riwayat lembaga peradilan bakal tamat.

Pensiunnya Harjono membuat MK kehilangan hakim yang selalu mengingatkan warisan pemikiran hakim-hakim pendahulu yang tertuang di dalam putusan MK. Direktur Eksekutif Constitutional and Electoral Reform Centre (Correct) Refly Harun mengungkapkan, masyarakat Indonesia tidak memiliki tradisi mempelajari dengan tekun warisan pemikiran para pendahulunya.

”Harjono adalah orang yang selalu mengingatkan bahwa sebelumnya ada putusan ini dan itu karena dia terlibat langsung. Ke depan, jika tak ada pelembagaan institusi hakim di MK, putusan-putusan MK itu akan sangat situasional. Dipengaruhi kondisi politik yang melingkupi dan siapa hakim yang ada ketika itu,” ujar Refly.

MK, menurut dia, perlu membuat tim untuk membantu hakim dan memberi masukan hakim terkait substansi perkara serta menyumbang legal opinion dari berbagai macam sisi.

Kekhawatiran bahwa MK akan kehilangan orang yang selalu ”mengingatkan” para hakimnya agak terobati. ”Saya bisa bengok-bengok (teriak-teriak) dari luar. Saya bersedia menjadi kritikus yang setia kepada MK, sebagai bentuk kecintaan saya terhadap lembaga ini,” katanya.

Harjono mengingatkan, tantangan ke depan MK masih sangat berat. ”Jangan menyerah. Jangan jadi tidak percaya diri,” demikian pesan Harjono untuk MK. (ana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com