Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UU Pemilu Digugat ke MK karena Rawan Kecurangan dan Inkonsisten

Kompas.com - 04/04/2014, 14:13 WIB
Meidella Syahni

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com —Tim Independen Peduli Pemilu Bersih, Transparan, Netral, Jujur, dan Adil 2014 mengajukan gugatan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif ke Mahkamah Konstitusi, Jumat (4/4/2014). UU ini dinilai tidak konsisten dan membuka celah kecurangan pemilu.

"Kita melihat karut-marut daftar pemilih saat pelaksanaan pemilu, baik tingkat nasional maupun daerah, akibat ketidakkonsistenan pasal, misalnya antara Pasal 33 Ayat 2 dan Pasal 40 Ayat 5," ujar juru bicara tim independen, Max Lawalata, Jumat siang di Jakarta.

Pasal 33 Ayat 2 mengatur tentang daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit memuat nomor induk kependudukan (NIK), nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat WNI yang mempunyai hak memilih. Kata paling sedikit dalam ayat ini, kata Max, menunjukkan keharusan yang harus dipenuhi. Namun, pada Pasal 40 Ayat 5, dinyatakan bagi yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan tidak memiliki identitas dimasukkan ke dalam daftar pemilih khusus. "Ini tidak konsisten dengan syarat paling sedikit harus punya NIK," kata Max.

Selain itu, Pasal 38 mengatur tentang data pemilih yang tidak boleh diubah. Namun, Pasal 40 membuka peluang adanya perubahan data pemilih. Tim independen menilai hal itu menyebabkan pelaksanaan pemilu tidak memenuhi asas jujur dan adil.

Sementara itu, anggota tim independen dari forum akademisi teknologi informasi (IT), Hotland Sitorus, mempersoalkan proses penghitungan suara yang tidak diakomodasi seluruhnya oleh UU ini. UU Pemilu menyatakan penghitungan suara dilakukan secara manual.

"Padahal, faktanya dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara mulai dari tempat pemilihan ke kelurahan, kecamatan, hingga ke KPU memakai IT. Artinya, penghitungan suara tidak manual murni," katanya.

Rekapitulasi suara yang menggunakan aplikasi Microsoft Excel, katanya, rentan dimanipulasi dan rekayasa. Menurutnya, bisa saja suara dipindahkan dari satu partai ke partai lain dengan rekayasa formula penghitungan.

Hotland mengatakan, penggunaan IT ini tidak pernah dipublikasi ke publik secara resmi dan tidak ada kebijakan untuk membuat validasi oleh publik. "Untuk itu, perlu judicial review ini karena UU ini sama sekali tidak mengatur penggunaan IT untuk validasi penghitungan suara," ujarnya.

Ekonom Djamester A Simamarta yang akan menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan itu menilai bahwa sejak awal UU ini sudah terkonstruksi tidak konsisten sehingga memungkinkan terjadinya kecurangan yang sistematis dan terpogram.

Meski pelaksanaan pemilu legislatif tinggal menghitung hari, tim independen menargetkan pendaftaran gugatan dapat dilakukan sebelum pileg pada 9 April 2014.

"Untuk sekarang target kita memberikan public awareness agar masyarakat tahu ada potensi kecurangan seperti ini. Registrasi gugatan kita harapkan bisa dilakukan setelah pileg. Ini kan bukan hanya untuk pileg ini, masih ada pilpres dan pemilu kepala daerah nanti," kata Max.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com