JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam kasus dugaan pengurusan sengketa Pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut hakim, keberatan Akil dan tim penasehat hukumnya sudah masuk dalam materi perkara yang akan dibuktikan di persidangan.
"Eksepsi terdakwa dan tim penasihat hukum tidak dapat diterima atau ditolak. Menetapkan surat dakwaan penuntut umum sah," ujar Ketua Majelis Hakim Suwidya, dalam sidang putusan sela di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (13/3/2014).
Majelis hakim tak sepakat dengan keberatan Akil terkait penangkapan oleh KPK hingga proses penyidikan. Namun, terkait TPPU, satu hakim anggota yaitu Sofialdi berbeda pendapat atau dissenting opinion. Menurut Sofialdi, KPK tidak berwenang menuntut TPPU.
"Yang berhak melakukan penuntutan TPPU yaitu Kejaksaan Agung, bukan KPK," kata Sofialdi.
Namun, Ketua Majelis Hakim Suwidya mengambil suara terbanyak sehingga menyatakan keberatan Akil dan penasehat hukumnya ditolak. Dengan demikian, agenda selanjutnya yaitu pemeriksaan saksi-saksi.
Seperti diketahui, Akil didakwa terlibat 15 sengketa Pilkada di MK dan pencucian uang. Dalam dakwaan pertama, Akil disebut menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak (Rp 1 miliar), Pilkada Kabupaten Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS), Pilkada Kota Palembang (Rp 19.886.092.800), dan Pilkada Lampung Selatan (Rp 500 juta). Dalam dakwaan kedua, Akil disebut menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1 miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2.989.000.000), Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar).
Selain itu, ia juga didakwa menerima janji pemberian Rp 10 miliar terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi jawa Timur. Kemudian, pada dakwaan ketiga, Akil disebut telah meminta Rp 125 juta pada Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011 Alex Hesegem. Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Dalam dakwaan keempat, Akil disebut menerima uang dari adik Gubernur Banten Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, sebesar Rp 7,5 miliar. Pemberian uang itu terkait dengan sengketa Pilkada Banten. Selain itu Akil juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. Saat menjabat Hakim Konstitusi nilai dugaan pencucian uangnya mencapai Rp 160 miliar. Sedangkan, saat masih menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat, nilainya mencapai Rp 20 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.