Perdebatan hukum pun terjadi di Belanda. Terlebih, setelah diajukan rancangan perundang-undangan terkait PK untuk memeriksa terdakwa yang telah dibebaskan. Para pengacara mengacu pada asas lites finiri oportet (tiap perkara hukum harus ada akhirnya).
Perkembangan PK di Belanda menarik disimak, terlebih setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 34 Tahun 2013 menyatakan, Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan konstitusi. KUHAP Indonesia memang warisan Belanda.
Pro-kontra juga terjadi di Indonesia. Taslim Chaniago, anggota Komisi III DPR, khawatir, PK yang dapat diajukan berulang-ulang membuka peluang narapidana koruptor dan narkotika mengelak dari hukuman.
Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Alvon K Palma mengatakan, putusan MK sudah tepat. ”PK merupakan hak dasar demi keadilan,” ujar dia.
Lagi pula PK menuntut adanya bukti baru. Dalam konteks permohonan Antasari, bukti baru didasarkan ilmu dan teknologi baru. Antasari mungkin berharap teknologi informatika makin berkembang sehingga ”DNA” pesan singkat (SMS) dapat ditemukan. Saat itulah terbuka peluang bagi Antasari menemukan kebenaran baginya.
Saat pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jaksa penuntut umum memang mendalilkan Antasari meneror korbannya melalui SMS pada Februari 2009. Namun, ”keberadaan” SMS itu misterius karena polisi tak tuntas menelusuri.
Demi kepastian hukum, Komisi III DPR akan menajamkan ketentuan PK dengan revisi KUHAP. Pasal 262 Ayat (2) Rancangan KUHAP berbunyi ”Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali”.
Nah, jika konsisten, pemerintah dan DPR sebaiknya menyesuaikan RUU KUHAP dengan Putusan MK 34. Juga penting untuk memikirkan ulang pembatasan PK ketika sejumlah anggota Komisi III berencana membatasi PK bagi koruptor atau terpidana narkotika.
Harus dipertimbangkan supaya akses terhadap keadilan dibuka lebar. Terpidana kasus narkotika bisa jadi bukan pengedar, tetapi pengguna yang dijebak jaringan pengedar, dan hanya PK untuk kedua kalinya yang dapat menyelamatkan hidupnya. Kita juga tak akan pernah tahu jika suatu saat ketidakadilan justru menimpa diri kita. (HARYO DAMARDONO)