Peneliti Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Koesworo Setiawan, dalam rilis hasil penelitian, Kamis (6/2/2014), di Jakarta, mengatakan, lembaga eksekutif paling banyak dibicarakan para pengguna Twitter. Lembaga eksekutif ini terdiri dari pemerintah pusat hingga tingkat kelurahan.
Dalam penelitian yang mencermati celotehan pengguna Twitter selama bulan November-Desember 2013 itu, lembaga eksekutif dibicarakan oleh 44 persen dari total 55 juta pengguna Twitter di Indonesia. Sehingga, total pembicaraan terkait lembaga eksekutif mencapai 221.000 celoteh.
Setelah eksekutif, lembaga yudikatif dibicarakan 145.000 celoteh (29 persen) dan lembaga legislatif 134.000 celoteh (27 persen). Apa saja isu yang dibicarakan terkait ketiga lembaga itu?
Berikut hasil rekapitulasi 10 keresahan publik yang ditangkap dalam penelitian ini:
Terkait lembaga eksekutif:
1. Layanan publik 55,1 persen;
2. Kualitas pendidikan 13,8 persen;
3. Layanan kesehatan 7,5 persen;
4. Hubungan RI-Australia 5,5 persen;
5. Century 5 persen;
6. Polemik MK 3,6 persen;
7. Kinerja jaksa 2,2 persen;
8. Kinerja DPR 2,5 persen;
9. Pemilu 2,5 persen;
10. Berantas korupsi 1,2 persen.
Terkait lembaga legislatif:
1. Hubungan RI-Australia 26,7 persen;
2. Kinerja DPR 18,8 persen;
3. Pemilu 18,8 persen;
4. Korupsi 7,8 persen;
5. Century 7,7 persen;
6. Polemik MK 5,7 persen;
7. Anggaran negara 4,3 persen;
8. Perilaku negatif (plesir ke luar negeri) 3,9 persen;
9. Kinerja jaksa 3,8 persen;
10. Politisi korup 2,3 persen.
Terkait lembaga yudikatif:
1. Layanan kesehatan (kasus kriminalisasi Dokter Ayu) 20,3 persen;
2. Polemik MK 17,2 persen;
3. Hubungan RI-Australia 14,2 persen;
4. Kinerja hakim 11,6 persen;
5. Mafia kasus 11,3 persen;
6. Politisi korup 7,8 persen;
7. Berantas korupsi 5,7 persen;
8. Kinerja jaksa 5,1 persen;
9. Kasus pajak 4,9 persen;
10. Korupsi 1,9 persen.
Dari penelitian ini, Koesworo mengatakan, ketiga lembaga tersebut mengalami defisit kapasitas. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Demokrasi prosedural yang mengabaikan penguatan demokrasi substansial akan sangat mengkhawatirkan," ujar Koesworo.
Associate Director dari Pasca Sarjana Universitas Paramadina Abdul Malik Gismar menilai, banyaknya keresehan publik yang timbul di Twitter memang tidak bisa mewakili suara dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi indikasi tidak langsung akan peluang munculnya golput dalam Pemilu 2014.
"Tapi kalau dilihat, penelitian ini memberikan potret di satu sisi kegalalua, di sisi lain kepedulian," kata Malik.
Penyelenggara pemilu, lanjutnya, berperan besar dalam menggerakkan masyarakat yang kini tengah galau untuk membuat suatu perbaikan.
"Perlu diubah pemikiran itu menjadi kepedulian aktif, bahwa anggota DPR yang terpilih haruslah berintegritas dan berkompetensi," kata Malik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.