Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Garin Nugroho, Jokowi, dan Budaya Massa

Kompas.com - 24/12/2013, 18:35 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Politik tak luput dari rasa dan pengamatan para pelaku seni di panggung kebudayaan. Politik Indonesia hari ini dinilai tak lebih dari akumulasi suara massa, mengabaikan individu dan kualitas perorangan. Padahal, dampak politik ini sampai ke tataran keseharian masyarakat, yang dalam istilah lain disebut sebagai budaya.

"Hari ini, Indonesia mengalami penat politik," ujar sineas Garin Nugroho saat dijumpai di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (24/12/2013). Setiap warga negara, kata dia, harus mengikuti lima pemilihan dalam satu periode, mulai dari pemilihan bupati atau wali kota, legislatif, gubernur, sampai presiden.

Faktanya, kata Garin, dari banyaknya kontestasi politik itu, hanya sekitar 20 persen hasilnya yang layak dihormati. "Selebihnya hanya hasil dari politik uang, politik kartel, dan politik massa," ujar dia.

Garin mengatakan, politik yang hanya mengedepankan akumulasi perolehan suara telah menghilangkan konsep tentang warga negara. "Yang ada tinggallah warga konsumen." Pemilihan langsung pada saat ini semata menampilkan politik massa yang vulgar.

Ketika politik sudah menjadi sekelas "massa", kata Garin, pemerintahan sejatinya tak ada. "Semua hanya sebatas transaksi jual beli," ujar dia.

Jokowi, tahun penentuan, dan kualitas individu

Kehadiran figur seperti Joko Widodo atau Jokowi, menurut Garin, merupakan potret harapan yang membuncah dari rakyat. "Kita ini mengalami diaspora Jokowi. Sebetulnya ada ledakan kekecewaan terhadap 15 tahun reformasi ini," kata dia.

Bila boleh berharap, Garin ingin diaspora Jokowi ini menjadi ibarat bola salju yang semakin membesar saat bergulir. "Tahun politik kali ini akan menentukan apakah akan menciptakan warga negara atau warga konsumen. Bila gagal, semua akan hanya sebatas bayar atau tidak, semua jadi survival."

Terlepas dari sosok Jokowi, Garin mengatakan sekarang adalah saatnya semua anak bangsa harus melepaskan atribusi jabatan dan bergerak bersama-sama. "Mau gubernur, presiden, atau siapa pun, harus ada orang yang muncul menjadi jawaban pada persoalan masyarakat," kata dia.

Kuncinya, tegas Garin, politik citra dan politik kekuasaan harus diganti dengan politik layanan. Pada posisi ini, budaya pun tak bisa dipisahkan dari proses berpolitik dan berbangsa.

"Dalam politik massa, tak ada karakter, keilmuan, maupun teknologi, yang semuanya itu bersifat individu," kecam Garin. Dalam ranah budaya, sebut Garin, film yang sekadar menjaring massa tanpa kualitas adalah contoh yang gampang dilihat.

"Sama, politik dan tontonan kita hari ini masih lebih banyak yang mengedepankan massa, melibatkan suara (pendukung), daripada nilai dan kualitas," papar Garin. Padahal, kata dia, ketika segala sesuatu dari politik hingga budaya hanya mengedepankan massa, produknya pun sekadar massal tanpa kandungan nilai.

Peradaban sehat

Pada masyarakat dengan tontonan beragam dan sehat, ujar Garin memberikan gambaran, peradaban sehat pun terjadi. Tontonan adalah contoh gampang budaya, dan budaya tecermin dalam banyak dimensi, termasuk politik.

"Ketika tontonan serba massa, vulgar, dan banal, maka yang tercipta adalah masyarakat yang vulgar dan banal. Itu yang terjadi sekarang," ujar Garin. Dari sudut pandang ini, tegas dia, pemerintah gagal.

Semua yang serba massa, sesal Garin, kini mendominasi. Ada beragam karnaval, misalnya, yang mendadak dielukan. Beragam hal didorong menjadi heritage internasional. Padahal, ujar dia, tanpa kehadiran individu berkualitas, semua produk massal itu pun akan kehilangan bobot substansi.

"Ekspor batik digalakkan, misalnya. Tapi, tanpa kehadiran maestro batik, apa ada batik berkualitas?" ungkap Garin memberikan gambaran. Dari ranah kehidupan bernegara, pembenahan Indonesia sejatinya hanya butuh kemunculan beberapa individu yang mampu mewakili semua unsur di republik ini. "Digerakkan oleh sedikit individu. Bukan massa."

Maka, kata Garin, ketika pemerintah sekarang hanya memperhatikan masalah massa dan tak memperhatikan individu, merosotlah peradaban. "Ini yang terjadi hari ini."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com