Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Supriyadi, Kamis (12/12), mengatakan, dalam falsafah Jawa, kebijakan pemerintah pusat atau daerah yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat sebenarnya hanya kemasan untuk kepentingan kelompok tertentu.
”(Kebijakan) itu bener ning ora pener (benar, tetapi tidak benar). Memang benar, itu program pemerintah. Namun, sebenarnya itu digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Program pemerintah seharusnya untuk masyarakat luas, apalagi yang digunakan uang negara,” ujarnya.
Sebelumnya, Supriyadi dimintai pendapatnya soal peredaran rekaman suara di masyarakat yang diduga suara Bupati Boyolali Seno Samodro saat peringatan ulang tahun Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Pendopo Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (4/12). Rekaman suara itu berisi janji kredit motor, mobil, dan rumah bagi PNS dengan kompensasi kepatuhan. Dalam rekaman itu, dikatakan, para PNS dapat mengambil kredit dengan bunga yang ditanggung Korpri, yang dananya berasal dari hibah hasil efisiensi APBD Kabupaten Boyolali.
Selanjutnya, ditambahkan dalam rekaman tersebut, APBD Boyolali tahun 2014 dapat dilakukan efisiensi sebesar Rp 4,5 miliar. Dari jumlah itu, Rp 2 miliar dapat diambil untuk hibah Korpri yang dapat dimanfaatkan oleh kepala seksi, staf, dan kepala desa untuk fasilitas kredit. Hal itu misalnya dari harga kredit motor Rp 18 juta, PNS hanya perlu membayar Rp 14 juta, sisanya Rp 4 juta sebagai bunga ditanggung Korpri.
”Ning nek (hanya jika) Rp 4,5 miliar saya tarik betul, kowe mecicil (kalau saya ambil Rp 4,5 miliar, kamu marah). Benar lho ini, komisi saya separuh. Dari Rp 4,5 miliar itu, saya meminta Rp 2 miliar diberikan kepada Korpri untuk kredit motor, mobil, dan rumah,” ujar suara tersebut.
Tunggu April
Dalam rekaman itu, muncul suara lagi, ”Tetapi, kembali lagi, ku tunggu bulan April, kan begitu. Ada apa bulan April? Saya ulang tahun. Nanti, saya umumkan pas ulang tahun.” Catatan Kompas, pada April mendatang akan digelar pemilu legislatif.
Dari rekaman itu juga terungkap ajakan kepada camat dan kepala desa menyeragamkan tarif kas desa, termasuk pembagian biaya sewa, yakni 1 persen untuk camat, 5 persen untuk kepala desa, serta 2,5 persen untuk bupati, sekretaris daerah, dan staf di bawahnya. Camat diperkirakan bisa mendapat Rp 200 juta per tahun dan kepala desa Rp 80 juta-Rp 100 juta per tahun dari tarif sewa tanah kas desa tersebut.
Saat dikonfirmasi, Seno membenarkan suara di rekaman tersebut suaranya. Namun, ia menampik dugaan adanya politisasi PNS dengan wacana yang disampaikan di hadapan para PNS, camat, dan kepala desa itu.
Ia juga menambahkan, wajar jika kepala daerah sebagai pejabat politik mendapat beban target pemenangan dari partai masing-masing.
Seno menambahkan, apa yang ditawarkannya itu masih sebatas ide. Sebab, ia akan menanyakan lebih dulu kepada Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Badan Pemeriksa Keuangan. ”Ini, kan, baru ide. Masak bupati tidak boleh berinovasi dan melemparkan ide. Ini cara saya memberi reward kepada anak buah,” kata Seno yang juga politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ide itu dirancang dilaksanakan pada tahun 2015.
Ahli keuangan daerah dari UNS, Solo, Mulyono, mengungkapkan, kepala daerah berhati- hati merencanakan dan menganggarkan keuangan daerah agar tak bermasalah nantinya. (EKI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.