KOMPAS.com — Aroma tak sedap tercium di dalam proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung yang diselenggarakan di Komisi III DPR. Selain karena peristiwa "pertemuan di toilet", pengakuan salah satu unsur pimpinan Komisi Yudisial, Imam Anshori Saleh, juga menguatkan adanya indikasi permainan uang.
Kompas menemui Imam Anshori Saleh, Kamis (19/9/2013), dan bertanya lebih detail mengenai kronologi peristiwa "percobaan suap" itu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana kronologi penawaran uang tersebut?
Saya sebenarnya mendapatkan banyak telepon dari orang-orang DPR, dari beberapa fraksi. Lebih dari lima orang, dari fraksi berbeda-beda. Intinya, minta tolong supaya orangnya (calon) diluluskan. Saya jawab saja, ya nanti kita lihatlah. Kalau hasilnya bagus dan rekam jejaknya bagus, saya kira akan lolos. Kalau tidak bagus, karena KY memang memiliki standar, ya tidak bisa.
Saya pikir sudah selesai. Tahu-tahu ada yang menelepon mengajak bertemu. Saya tidak berpikir apa-apa saat itu. Akhirnya, saya bertemu di sebuah rumah makan di daerah Senayan.
Ketika itu dia bilang, "Mas, saya dapat amanat dari ibu, ini supaya diloloskan. Untuk KY, masing-masing disiapkan Rp 200 juta." Dia memang tidak bilang akan memberi Rp 1,4 miliar, tetapi kalau dihitung kan jadinya Rp 1,4 miliar.
Saya jawab, "Waduh… kalau yang begitu-begitu saya dan teman-teman tidak akan menerimanya Pak. Tanpa itu pun, kalau baik tentu akan kami loloskan."
Saya tidak langsung memberitahukan peristiwa ini kepada teman-teman (pimpinan KY). Saya biarkan dulu, biar yang bersangkutan seleksi. Nah, ketika rapat penentuan kelulusan, saya baru menggunakan hak veto. Saya katakan tidak bisa meloloskan orang ini. Anggota yang lain bertanya, lalu saya jelaskan soal itu (tawaran uang). Lalu, kami sepakat tidak meloloskannya.
Apa reaksi dari orang DPR?
Ya, memang sempat marah-marah orang DPR walau tentu saja tidak marah ke saya. KY dikatakan tidak mampu. Lalu, DPR menunda uji kelayakan dan kepatutan. Makanya, dulu saya ancam kalau mereka menjelek-jelekkan (KY), saya punya kartu truf.
Pada 2012, DPR sempat menolak melanjutkan proses seleksi calon hakim agung dengan alasan kuota belum terpenuhi. Saat itu, KY yang seharusnya mengirimkan 18 calon hakim agung hanya mengirimkan 12 calon (Kompas, 6 Juni 2012).
Bagaimana kalau anggota DPR dimaksud membantah?
Ya silakan saja membantah. Tetapi, ini soal komitmen. Kalau bertemu saya, awalnya, agak kikuk karena semula mengira saya bisa dibeli. Dia jadi agak segan dengan saya karena sudah pernah mencoba, tetapi tidak tembus.
Andai saya mau, uangnya bisa saya ambil semua. Namun, nurani saya tidak sampai hati. Selain saya jadi berdosa, celaka pula bagi peradilan ke depan. Satu orang saja ada yang seperti itu, peradilan bisa rusak.
Setelah mengungkapkan soal ini, ada yang mengancam?