"Selain ngambil uang, Djodi juga mengambil memori kasasi dari Mario, kemudian dibawa ke orang berinisial S di MA, staf dari hakim yang berinisial AA," kata Jusuf, Rabu (18/9/2013), di depan kantor Hotma, Jakarta.
Menurut Jusuf, ketika Mario meminta bantuan Djodi untuk mengurus perkara terdakwa HWO di MA, Djodi menghubungi S yang merupakan staf dari hakim agung berinisial AA. Beberapa hari kemudian, S menghubungi Djodi untuk mengabarkan dirinya bersedia membantu perkara tersebut.
"Setiap orang yang mau ketemu AA harus melalui S, dan Djodi sudah menyerahkan memori kasasi kepada S," kata Jusuf.
Karena S juga dinilai terlibat, Jusuf mengatakan, pihaknya meminta agar S pun ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.
"Kalau S tidak bisa membantu, Djodi pun tidak bisa. S sudah mengakui komunikasi dengan Djodi. Yang kita minta adalah keadilan, S harus ditetapkan sebagai tersangka dan bisa ditahan," kata Jusuf.
Diberitakan sebelumnya, KPK menangkap Mario dan Djodi di tempat terpisah, Kamis (25/7/2013). Djodi ditangkap lebih dulu di sekitar Monumen Nasional (Monas) pukul 12.15. KPK menyita uang sekitar Rp 78 juta yang ada di tasnya. Setelah itu, KPK menangkap Mario di kantornya, Hotma Sitompul & Associates, di Jalan Martapura, Jakarta Pusat, pukul 13.20.
Dalam pengembangannya, KPK juga menyita sejumlah uang di rumah Djodi, di Cipayung, Jakarta Timur. Djodi diduga baru saja menerima uang dari Mario. Keduanya diduga tengah mengurus perkara tindak pidana umum yang tengah dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Untuk mengurus perkara tersebut, Mario diduga memberikan uang suap kepada Djodi. Namun, Djodi diduga hanya perantara suap karena statusnya sebagai pegawai biasa di Diklat MA. Mario diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sementara itu, Djodi diduga melanggar Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.