"Jadi, ibaratnya kalau korupsi politik itu adalah 'ibunya' korupsi, maka rekrutmen politik adalah 'neneknya' korupsi," kata anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Budiman Sudjatmiko, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta, Rabu (4/9/2013), seusai diskusi dengan KPK dan peneliti Centre for Strategic and International Studies J Kristiadi tentang korupsi politik.
Dia mengatakan, rekrutmen politik yang salah dan tidak transparan cenderung mengakibatkan semakin suburnya tindak pidana korupsi, seperti dalam pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif.
"Misalnya untuk mendapatkan rekomendasi, dia membayar berapa miliar entah itu untuk menjadi kepala daerah maupun untuk menjadi anggota legislatif," ujarnya.
Praktik tidak halal ini, lanjutnya, cenderung terjadi karena struktur kelembagaan rekrutmen politik yang tidak transparan. Dengan demikian, anggota legislatif atau kepala daerah yang terpilih melalui proses rekrutmen yang keliru tersebut nantinya cenderung mencari uang untuk mengganti biaya yang dikeluarkannya saat proses seleksi melalui cara yang koruptif.
"Berkorupsi untuk mengganti biaya yang pernah dikeluarkan waktu dia mendapatkan rekomendasi dalam sebuah jabatan politik," ucap Budiman.
Politikus PDI Perjuangan ini juga mengakui, pembenahan rekrutmen politik belum dilakukan maksimal oleh partai politik. Masih saja ada celah yang dimanfaatkan untuk menjadikan proses rekrutmen ini sebagai ajang bisnis.
"Setiap partai ada lubang-lubang seperti itu," tambahnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Budiman, solusinya adalah melalui reformasi kepartaian dan reformasi pemilihan umum. Budiman mengapresiasi langkah Komisi Pemilihan Umum yang menekan biaya kampanye dengan membatasi alat peraga dalam berkampanye.
"Karena salah satu sebab korupsi politik adalah biaya pemilu. Biaya pemilihan yang mahal dalam perekrutan sampai biaya kampanye. Salah satu yang bisa membatasi itu adalah pembatasan alat peraga oleh KPU. Itu bisa menekan biaya pemilu," ungkapnya.
Selain itu, menurut Budiman, diperlukan proses seleksi ketat untuk menjadi anggota suatu partai politik, apalagi menjadi caleg dari partai tertentu. Pasalnya, selama ini proses seleksi internal partai belum ketat.
"Diakui saat ini untuk menjadi anggota partai itu sama seperti masuk fitnes. Padahal, dulu zaman Bung Karno, untuk menjadi anggota partai itu ada masa percobaan selama sebulan. Jadi, tidak bisa langsung masuk ke partai sebagai anggota partai dan tiba-tiba langsung menjadi anggota legislatif," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.