Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK: Menggiring Opini, Strategi Terdakwa TPPU

Kompas.com - 15/08/2013, 09:29 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menilai, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo gagal membangun pembelaan seputar asal usut asetnya yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Bambang berpendapat, alibi Djoko yang mengatakan bahwa sumber asetnya berasal dari hasil bisnis sampingan, di antaranya jual beli keris pusaka, tidak masuk akal.

"Kemarin, menurut pengamatan saya, DS tidak berhasil membangun argumentasi dan menjustifikasi asal usul kekayaan yang dia miliki. DS juga tidak fasih menjelaskan akumulasi kekayaan yang dia miliki," kata Bambang, di Jakarta, Rabu (14/8/2013).

Dia menanggapi pemaparan asal usul harta Djoko saat jenderal bintang dua itu diperiksa sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) dalam persidangan Selasa (13/8/2013).

Lebih jauh, Bambang mengatakan, apa yang disampaikan Djoko di hadapan majelis hakim mengenai asal usul hartanya itu sangat bertentangan dengan yang dia sampaikan kepada KPK melalui laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

Dalam LHKPN-nya, Djoko tidak menuliskan sumber penghasilan selain gajinya sebagai pejabat Kepolisian. Djoko yang disebut Bambang sebagai salah satu jenderal polisi terkaya di Indonesia itu tidak mencantumkan bisnis sampingannya berupa jual beli keris, bisnis jual beli lahan, dan daging sapi yang dikelola rekannya, Dadeng Saefuddin. Selain itu, ada pula bisnis jual beli perhiasan yang dikelola teman Djoko, Subekti, atapun hasil pengelolaan SPBU.

Pun ihwal insentif bulanan dari Jasa Raharja yang diklaim Djoko sebagai penghasilan tambahan yang didapatnya sekitar 2009-2010. Ketidaksesuaian harta Djoko dengan LHKPN ini, kata Bambang, semakin menunjukkan kalau dia sengaja menutup-nutupi hartanya.

"Itu memang strategi orang-orang yang terlibat TPPU (tindak pidana pencucian uang) ya seperti itu. Dia akan menggiring opini," kata Bambang.

Salah satu opini yang dibangun adalah penerimaan insentif bulanan dari Jasa Raharja. Dalam persidangan, Djoko mengaku dapat insentif Rp 50 juta per bulan dari Jasa Raharja. Insentif tersebut diterima Djoko sepanjang 2009 kemudian berlanjut hingga September 2010 sehingga totalnya sekitar Rp 1,05 miliar.

Menurut Bambang, insentif dari Jasa Raharja ini hanya alibi yang dibangun Djoko. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI itu, kata Bambang, tidak pernah menyampaikan kepada penyidik soal insentif dari Jasa Raharja ini ketika dia diperiksa sebagai tersangka di KPK.

"Makanya kami mencurigai bahwa ini adalah alibi yang dibangun. Wajar dong, bos terdakwa membangun alibi. Kalau dia mengatakan dari awal dalam proses pemeriksaan soal insentif itu, itu akan beda. Tapi itu kan dibangun ketika diperiksa sebagai terdakwa di persidangan, dan ingat, dia punya hak ingkar loh," kata Bambang.

"Tapi, menurut kami, apa yang dijelaskannya itu tidak masuk akal sehat. Mana mungkin dia mengakumulasikan kekayaannya dari salon, jual beli keris, dan satu lagi SPBU, enggak mungkin itu," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com