Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sang Artis"

Kompas.com - 10/07/2013, 11:44 WIB

Oleh: Acep Iwan Saidi

Sang artis adalah sosok yang dipuja. Ia memiliki banyak pengikut. Periksalah media sosial seperti Twitter, pengikut sang artis selalu berjubel: mulai dari anak baru gede (ABG) hingga akademisi jujur. Apalagi, maaf, jika sang artis adalah perempuan seksi, maka calon pengikutnya antre setiap hari.

Padahal, tidak ada komentar bernas dari umumnya sang artis. Paling-paling mereka hanya bicara, ”Ah, kamu”, ”Gue lagi di Amrik nih”, ”Aduh, ini waktu shooting kok molor”, dan seterusnya.

Memang begitulah sang artis ditakdirkan. Ia hanya bisa hidup di sebuah dunia yang disebut budaya populer, semesta hiruk-pikuk dan glamor. Sekali keluar dari dunia itu, posisinya sebagai artis dapat dipastikan selesai. Itu sebabnya, umumnya artis tidak mau keluar dari kebisingan demikian.

Sunyi adalah sesuatu yang mesti dihindari. Untuk itu, ia harus pandai menciptakan sensasi. Tentu tak semua artis begitu. Namun, yang tidak begitu sedikit sekali jumlahnya. Dan oleh karena itu, mereka bisa kita sebut oknum artis.

Politik tokoh

Di sebuah negara yang mengaku demokratis seperti Indonesia, sang artis mendapat tempat terhormat. Kita tahu, salah satu kelemahan demokrasi memang menempatkan orang populer sebagai ”yang pinter”. Tentu saja kelemahan ini hanya tampak pada negara demokrasi macam kita, yakni demokrasi lidah dan ludah yang digerakkan materi dan media. Ini bersambut dengan fondasi tradisi kita yang oral, kelisanan. Dalam masyarakat lisan, popularitas tokoh jauh lebih penting daripada pokok. Politik dalam demokrasi demikian adalah politik tokoh, bukan politik pokok.

Oleh sebab itu, sang artis pun mendapat ruang istimewa. Lihatlah, bagaimana kini mereka berduyun-duyun menuju Senayan. Tidak semuanya mencalonkan diri. Kebanyakan justru malah dipanggil, dirayu banyak partai politik untuk menjadi jagoannya. Bagi partai politik, sang artis adalah ”nabi” untuk iman mereka tentang elektabilitas: tak ada cara lain mendongkrak suara partai, kecuali dengan popularitas tokoh. Maka, kursi kuasa legislatif pun diobral untuk sang artis.

Allan Goldstein dalam esainya, ”The Politics of Show Versus The Politics of Go” (Progressive Journalism for Positive Action, 6/3/2013), menyebut fenomena politik demikian sebagai politik pertunjukan. Politik pertunjukan, kata Goldstein, bukan tentang bagaimana sesuatu dikerjakan, melainkan bagaimana sebuah pernyataan dirangkai. Dalam politik jenis ini, kebisingan adalah keniscayaan. Ia hanya memproduksi keriuhan. Ia juga bekerja layaknya mode: semacam mode yang datang dan pergi begitu saja dalam tempo yang cepat, barangkali juga hanya sebuah keisengan.

Padahal, politik bukan pekerjaan yang dapat mengubah dunia dengan cepat. Ia bergerak pelan dan karena itu butuh kesabaran. Inilah politik yang berdaya, bergerak dengan tenaga. Goldstein menyebutnya sebagai the politics of go. Namun, kata Goldstein, politik demikian kini tidak menarik lagi.

Politik panggung

Seperti ditengarai Goldstein, dunia politik di negeri ini, sekali lagi, adalah dunia politik pertunjukan. Periksalah sebagian besar politisi kita di DPR. Sejak awal mereka bahkan menciptakan dirinya sebagai manusia panggung. Selain beberapa faktor lain, terutama saku yang tebal, mereka lahir dari poster. Yang tampak di poster sudah pasti bukan diri mereka, melainkan sebuah imaji yang telah diseleksi fotografernya.

Segera dapat disaksikan bagaimana mereka tampil dalam keragaman pose: mulai dari berdasi, memakai kostum buruh, pakaian adat, hingga berfoto bersama dengan tokoh tertentu. Lucunya, sebagian besar poster itu dibuat dengan desain yang tak kreatif. Sebuah poster sering tampil mengancam ketimbang menggoda. Akibatnya, daripada memilihnya sebagai wakil, orang malah membuang muka.

Setelah lolos menjadi anggota badan legislatif, kebiasaan pentas terus berlanjut. Barangsiapa yang vokal, dialah yang eksis. Kita seolah-olah melihat para vokalis itulah yang cerdas dan aktif bekerja. Politisi dalam politik pertunjukan adalah mereka yang ”bersolek dari rambut hingga ujung jari kaki”. Apa pun latar belakang disiplin ilmu dan profesinya, pada akhirnya mereka berubah menjadi artis.

DPR adalah sebuah panggung pertunjukan tempat para artis itu berpentas. Dan kita semua tahu belaka, seperti poster, apa yang tampil di panggung bukanlah hal yang sebenarnya. Di panggung pekerjaan politisi adalah memproduksi tanda yang membelokkan realitas: yang hadir di permukaan bukan yang nyata, melainkan yang palsu. Subyek politikus, dengan demikian, adalah subyek yang semu, dusta. Itulah dunia panggung. Dunia artis.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

    PPP Buka Peluang Usung Sandiaga jadi Cagub DKI

    Nasional
    Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

    Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

    Nasional
    Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

    Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

    Nasional
    Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

    Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

    Nasional
    PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

    PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

    Nasional
    Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

    Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

    Nasional
    Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

    Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

    Nasional
    Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

    Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

    Nasional
    Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

    Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

    Nasional
    5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

    5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

    Nasional
    Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

    Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

    [POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

    Nasional
    Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

    Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

    Nasional
    Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

    Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com