JAKARTA, KOMPAS.com - Banyaknya kasus pencemaran nama baik yang menyerang para pengguna dunia maya, khususnya bloger, menarik perhatian sejumlah bloger untuk membahas bagaimana perlindungan hukum di dunia siber untuk para bloger. Dalam acara Kompasiana Nangkring bersama Damar Juniarto dan Megi Margiyono, Kompasiana mengadakan diskusi santai yang membahas tentang aturan hukum di dunia siber, Kamis (12/4/2013) sore, di Lounge Studio KOMPAS.com.
Bloger Kompasiana, Damar Juniarto, salah satu narasumber yang juga pernah terlibat polemik dengan novelis terkenal Andrea Hirata lewat sebuah tulisannya di Kompasiana menuturkan, dari polemik yang sempat menimpa dirinya pada Februari 2013 itu, Damar sadar benar bahwa keberadaan bloger di Indonesia belum terlindungi. "Pertama, keberadaan bloger di Indonesia belum terlindungi. Padahal, blogging itu harusnya hak semua orang karena termuat dalam UUD '45 tentang kebebasan berpendapat", ujar Damar saat ditanyai moderator soal polemik tersebut.
Damar sempat bingung saat mendengar kabar bahwa Andrea akan memperkarakan dirinya akibat tulisannya. Tapi berkat kejadian itu pula, dia mulai mendalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum dunia siber. Sejumlah pertanyaan muncul di benaknya, seperti pasal apa yang dikenakan, berapa lama hukumannya, dan apa yang harus dilakukannya saat benar-benar terjerat hukuman.
Tidak hanya itu. Damar juga melakukan konsultasi hukum ke berbagai pihak. Sayangnya, belum ada wadah yang manaungi perlindungan bloger, termasuk di Dewan Pers. Tapi, kata dia, di kalangan internal Dewan Pers masih ada pandangan bahwa asalkan si bloger yang medianya adalah badan hukum perusahaan pers, maka karyanya masuk perlindungan pers. Bila kondisinya demikian, Dewan pers siap mengupayakan hingga tahap mediasi dan menerapkan UU Pers. "Satu-satunya yang (langsung) bisa menyelamatkan bloger hanyalah simpati publik," tambahnya.
Hukum dunia maya tidak kompatibel
Sementara itu, pakar hukum di dunia siber, Megi Margiyono mengatakan, pada dasarnya undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang kerap menjerat para pengguna dunia maya masih belum jelas. Sebab, polisi masih kesulitan membuktikan kejahatan yang dilakukan di dunia maya.
"Polisi sendiri kesulitan membawa bukti-bukti tindak kejahatan yang dilakukan di dunia siber. Dalam suatu kasus, akhirnya polisi hanya membawa komputer yang dipakai terdakwa dan hasil perbuatan terdakwa yang dimuat di dunia maya. Itu kalau terdakwa menggunakan komputer pribadi. Bagaimana kalau terdakwa menggunakan komputer rental? Nah, yang tinggal di polsek dan polres juga kesulitan untuk mengusutnya, sehingga banyak kasus kejahatan di dunia siber yang menguap begitu saja," papar Megi.
Ketidakjelasan juga terjadi soal masa hukuman dalam UU ITE yang lebih lama dibandingkan dengan yang termuat dalam KUHP. "Ada yang mengatakan kalau orang nulis di internet, pengarsipan sudah dilakulan di internet itu selamanya dan akan terus menerus, sehingga akan dihukum lebih berat. Tapi ini juga masih perdebatan. Oleh karena itu, Menkominfo sendiri setuju kalau UU ITE pasal 27 ayat 2 akan direvisi," ujar dia.
Selain itu, Megi menjelaskan hukum di dunia maya ini mengatur sesuatu yang berkembang jauh lebih cepat daripada hukum itu sendiri. Masa penggodokan undang-undang lebih lama dibandingkan dengan kemajuan teknologi. Pada akhirnya, hukum yang terbentuk selalu tertinggal dibandingkan teknologi.
Megi berkesimpulan, internet ini budaya sharing, hanya saja hukumnya yang tidak kompatibel. Megi juga menyarankan untuk berjaga-jaga terhadap tuduhan kasus pencemaran nama baik, ada baiknya para bloger menulis di blog yang dikelola secara badan hukum. "Lebih aman menulis di blog-blog yang dikelola karena berbadan hukum dan bisa menaungi para blogernya," tukas Megi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.