JAKARTA, KOMPAS.com- Laporan Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas dalam bentuk galeri foto di tablet sudah bisa diunduh mulai Jumat (16/11/2012) pagi tadi. Laporan ketiga dalam bentuk galeri foto kali ini mengambil tema Hidup Bersama Gunung Api.
Laporan ini merupakan yang ketiga dalam bentuk galeri foto setelah sebelumnya mengambil tema Supernova dan tsunami.
Seperti edisi sebelum-sebelumnya, laporan Ekspedisi Cincin Api Kompas dalam edisi Bahasa Indonesia bisa diunduh melalui iPad maupun tablet lain berbasis Android dengan cuma-cuma.
Indonesia adalah rumah bagi gunung-gunung api paling berbahaya di dunia. Negara kepulauan ini memiliki 400 gunung api dan 127 di antaranya merupakan gunung api aktif yang rutin meletus. Gunung-gunung api itu sambung-menyambung nyaris tak terputus dari Sumatera sampai Jawa, Bali, Flores, lalu membentuk busur ke arah Kepulauan Banda di Maluku dan Sulawesi bagian utara hingga berbatasan dengan Filipina.
Beberapa pulau, seperti Flores, terbentuk dari deretan gunung api yang kaki-kakinya saling menyambung. Bahkan, banyak pulau yang sejatinya merupakan tubuh gunung api bawah laut yang menyembul ke permukaan, seperti misalnya Pulau Rokatenda di Nusa Tenggara Timur, Pulau Ternate, Tidore, dan Makian di Maluku Utara serta Kepulauan Banda di Maluku.
Beberapa gunung api yang tercatat memiliki letusan terdahsyat dalam riwayat Bumi pernah terjadi di negeri ini. Lebih dari 140.000 jiwa tewas akibat letusan gunung api di Nusantara dalam kurun 500 tahun terakhir; jumlah terbesar dari yang pernah ditanggung suatu negara. Namun, letusan terbesar dan meminta korban terbanyak dalam sejarah manusia modern terjadi saat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus tahun 1815.
Bagi para ahli mitigasi bencana, strategi pengosongan gunung api dari hunian penduduk barangkali pilihan paling masuk akal, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan. Nyatanya, pulau-pulau gunung api di Maluku dan Maluku Utara yang paling berbahaya karena kerap meletus dan berada di zona rentan gempa dan tsunami pun tetap dihuni.
Sejarah mencatat, Gunung Gamalama di Ternate kerap meletus dan menelan banyak korban jiwa, sebagaimana Gunung Kie Besi di Pulau Makian, Maluku Utara. Pada 22 September 1760, tak kurang dari 3.000 orang tewas akibat letusan Kie Besi. Pada 28 Desember 1861, gunung ini kembali meletus dan melemparkan batuan pijar yang membara dan awan panas menyembur secara radial ke semua arah dari kawah.
Sedikitnya 300 orang tewas, belum termasuk korban yang hilang karena tenggelam di laut saat mengungsi. Sebanyak 15 kampung di Pulau Makian terkubur material letusan. Bahkan, 75 rumah di Pulau Tidore yang berjarak 30 km dari Makian ambruk karena tak kuasa menahan hujan abu. Pada 1890, Kie Besi kembali menelan korban.
Dengan riwayat mengerikan ini, tanggal 15 Juni 1975, Pulau Makian resmi dihapus dari daftar pulau berpenghuni di Indonesia. Seluruh penduduknya dipindahkan dan dilarang kembali. Dengan alasan yang sama, Pulau Teon, Nila, Serua, dan Banda Api di Maluku juga dilarang untuk hunian. Selain ancaman letusan gunung api, warga di kepulauan ini juga terancam gempa dan tsunami. Proses evakuasi warga ke zona aman menjelang letusan pasti tak gampang mengingat lokasinya yang dikepung lautan.
Namun, upaya pengosongan pulau-pulau ini selalu gagal. Warga selalu kembali ke pulau-pulau itu. Cengkeh dan pala menjadi daya tarik untuk selalu kembali. Meski ditinggal bertahun-tahun, tanaman ini tak rusak. Bahkan, hasilnya semakin baik. Tanaman tahunan ini tak membutuhkan perawatan ekstra seperti tanaman semusim lainnya. Semburan abu gunung api justru menyuburkan tanaman rempah ini. Ketergantungan warga dengan cengkeh dan pala inilah yang membuat masyarakat Maluku rela hidup berdampingan dengan gunung api.Terbukti tidak efektif. Warga selalu kembali ke dalam naungannya. Gunung api memberkahi kesuburan tanah, mengirim air bersih, dan pemandangan permai yang banyak membuat orang jatuh hati. Bahkan, di lereng Gunung Agung di Bali dan Merapi di Yogyakarta, kami bertemu orang-orang bersedia hidup-mati di gunung api
Ikatan budayaDi Indonesia, gunung api memang tidak hanya soal geologi dan geofisika, tetapi juga masalah budaya. Berkah atau bencana dari letusan gunung tergantung dari bagaimana manusia bernegosiasi dengan penguasa gunung. Karena itu, hampir di semua gunung, terutama di Jawa dan Bali, terdapat bangunan-bangunan suci yang digunakan sebagai sarana pemujaan.