JAKARTA, KOMPAS.com - Reformasi, pemberantasan korupsi, serta transparansi dan akuntabilitas di pemerintahan tidak bisa ditangani dalam satu dua tahun. Penyebabnya bukan hanya birokrasi, banyak pihak terlibat.
Selain itu, desentralisasi membuat pemerintah sulit memaksa transparansi dan akuntabilitas benar-benar dilaksanakan di daerah.
Sebelum ini, Freedom House, organisasi nonpemerintah asal Amerika Serikat, menilai penegakan aturan reformasi di Indonesia masih lemah. Skor Indonesia pada kategori antikorupsi, transparansi, akuntabilitas di bawah batas minimum pemerintahan yang dianggap efektif.
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, Rabu (19/9/2012) malam di Jakarta, mengatakan, korupsi yang terjadi di birokrasi akibat kebutuhan kini diatasi dengan penataan gaji dan tunjangan kinerja.
Namun, korupsi yang lebih besar seperti pada pengadaan barang jasa dan perizinan biasanya melibatkan kekuatan di luar birokrasi seperti politik. Pengadaan secara elektronik (e-procurement), bisa mengurangi penyimpangan kendati belum bisa sepenuhnya diterapkan.
Setidaknya, kata Eko, perbaikan sistem akan mengurangi celah penyimpangan. Namun, ketika melibatkan ranah politik, semestinya partai politik juga membenahi sistem rekrutmen kadernya.
Terkait akuntabilitas dan transparansi, lanjutnya, hal ini sudah dimulai untuk pengadaan calon pegawai negeri sipil. Namun, secara menyeluruh, dengan desentralisasi saat ini, semakin sulit mengendalikan transparansi dan akuntabilitas di daerah. Apalagi, kooptasi politik terhadap birokrasi semakin besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.