JAKARTA, KOMPAS.com - Pemberian remisi atau pemotongan masa pidana untuk para narapidana kasus korupsi dinilai bukan pangkal persoalan dari tidak adanya efek jera untuk para koruptor. Akar masalah selama ini disebut karena ringannya vonis majelis hakim kepada koruptor.
"Vonis ringan adalah pangkal persoalan," kata anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin di Jakarta, Selasa (21/8/2012).
Hal itu dikatakan Didi ketika dimintai tanggapan langkah pemerintah yang tengah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyaratakan. Revisi itu disebut untuk memperketat remisi narapidana kasus korupsi, narkotika, dan terorisme.
Didi mengatakan, perlu ada revisi Undang-undang Tipikor agar batas minimal vonis untuk kasus korupsi diperberat, misalnya minimal 5 tahun penjara. Dengan begitu, kata dia, maka pemberian remisi tidak akan berpengaruh banyak.
Senada disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsy. Menurut dia, proses penuntutan dan vonis majelis hakim harus menjadi perhatian. Jangan sampai tuntutan jaksa rendah dan vonis hakim lebih ringan dari tuntutan.
"Tentunya kondisi ini akan menghalangi upaya pemberian efek jera. Pada saat penuntutan, jaksa harus berani menggunakan pasal pencucian uang, tak hanya pasal korupsi. Dengan tuntutan berlapis tentunya diharapkan akan menambah efek jera," kata Aboe Bakar.
Selain itu, tambah dia, pemerintah juga harus konsisten dengan kebijakannya untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Jangan sampai remisi telah diperketat, namun presiden malah memberikan grasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.