SUKABUMI, KOMPAS.com---Rumah milik Yahya (45) di Dusun Cikiara, Desa Sumberjaya, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dirusak sekitar pukul 10.00, Kamis (2/8/2012).
Para perusak berjumlah 12 orang, juga merusak Musholla yang dibangun oleh Yahya. Diduga, perusakan itu akibat konflik tanah antara Perhutani dengan warga.
"Mereka datang dengan sepeda motor sekitar pukul 10.00 dengan teriak-teriak mengucapkan kata-kata kasar. Mereka meminta kami pindah. Tak lama, mereka langsung merusak rumah dan Musholla," kata Halifah (32) istri Yahya, sambil terisak.
Menurut Yahya, para perusak itu tidak mengenakan seragam tertentu. Beberapa dari mereka mengenakan jaket. Mereka bilang saya harus pindah dari sini dengan imbalan Rp 200.000.
"Tapi saya tidak mau karena rumah dan Musholla ini saya bangun secara sedikit demi sedikit," ujar Yahya, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan buruh bangunan.
Yahya dan Halifah menduga para perusak itu merupakan orang suruhan Perhutani. Sebab, sebelumnya, pernah terjadi konflik antara warga dan perusahaan itu.
"Mereka (para perusak) mengatakan, saya tidak berhak tinggal di sini, karena tanah ini merupakan milik Perhutani. Padahal ini adalah tanah negara," kata Yahya.
Madbulloh (42), Ketua Himpunan Petani Nelayan Sukabumi, yang sering mendampingi warga, menuturkan perselisihan bermula saat Perhutani menganggap tanah seluas sekitar 2.000 hektar di empat desa, yaitu Bumiasih, Tegalbuleud, Sumberjaya, dan Calinking merupakan miliknya pada dekade 1990-an.
Menurut Madbulloh, warga sudah menempati tanah tersebut yang sebelumnya merupakan hak guna usaha dari PTPN VIII Cikaso.Yahya tinggal di wilayah tanah eks-perkebunan itu.
Sebelumnya, sekitar tahun 1970-an, memang ada kabar bahwa pihak perkebunan menitipkan penguasaan lahan kepada Perhutani sebab masih sedikit warga yang tinggal di situ, lanjut Madbulloh.
Dalam perkembangannya, warga yang tinggal di wilayah tersebut semakin banyak, dan memanfaatkan lahan itu sebagai mata pencaharian mereka. Hingga saat ini, tak kurang dari 1.000 jiwa tinggal disana.
Seiring dengan reformasi agraria pada 1999, warga mulai memperjuangkan hak atas tanah yang telah mereka kelola. "Awal tahun ini, dalam pertemuan dengan pemerintah daerah, yang juga dihadiri oleh Badan Pertanahan Nasional, kepolisian, TNI, dan DPRD Kabupaten Sukabumi sudah diputuskan bahwa tanah ini adalah lahan eks perkebunan, bukan milik Perhutani," kata Madbulloh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.