JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung meminta seluruh hakimnya yang sudah bergelar doktor untuk mengikuti proses seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial dengan menggunakan jalur yang ditentukan undang-undang. Para hakim terutama hakim tingkat pertama yang bergelar doktor, dilarang mendaftar sendiri ke Komisi Yudisial dengan menggunakan jalur nonhakim.
"Mereka hendaknya memperhatikan syarat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Jangan menempuh cara lain yang tidak ditentukan. Ini bisa merusak sistem yang sudah ada," kata Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko, Senin (26/6/2012).
Pasal 7 huruf (a) UU Nomor 3 Tahun 2009 mengatur, syarat seorang hakim karier menjadi calon hakim agung antara lain, minimal berijazah magister hukum, berusia minimal 45 tahun, berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim termasuk tiga tahun menjadi hakim agung, dan tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara karena melakukan pelanggaran kode etik.
Seperti diketahui, Komisi Yudisial (KY) membuka peluang bagi hakim baik hakim tinggi maupun hakim tingkat pertama asalkan bergelar doktor (berpendidikan Strata 3) untuk mengikuti seleksi calon hakim agung. Mereka dapat mendaftar dengan menggunakan jalur nonkarier seperti akademisi asal mampu menunjukkan Surat Keputusan (SK) mengajar.
Padahal, MA telah mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA pada 30 Desember 2011 lalu. Intinya, setiap hakim yang mendaftar menggunakan jalur nonkarier/nonhakim harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim. MA mengacu pada ketentuan pasal 7 UU MA sebagai dasar pengeluaran SK Ketua MA.
Menurut Djoko, MA sebenarnya senang apabila hakim karier banyak yang mendaftar sebagai calon hakim agung. Hanya saja, MA tetap meminta setiap hakim memperhatikan ketentuan. "Kalau hakim tidak tunduk pada UU yang mengatur dan bertindak semaunya sendiri, apa perlu hakim itu diberi jabatan yang lebih tinggi?" tanya dia.
Terkait persoalan yang sama, MA telah memastikan penjatuhan sanksi terhadap dua hakim PN yang nekad mengikuti seleksi calon hakim agung pada periode lalu. Binsar Goeltom, hakim dari PN Bengkulu dan Edy Parulian Siregar, hakim dari PN Sidoarjo dijatuhi sanksi karena melanggar perintah atasan yang sudah melarang keikutsertaan mereka melalui SK Ketua MA. Atas sanksi tersebut, keduanya mengadu dan meminta perlindungan hukum ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.