Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disebut Jadi Tersangka, Ini Penjelasan Ketua KPU

Kompas.com - 11/10/2011, 14:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com  - Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Ansary menilai kasus pelaporan dirinya dan beberapa komisoner KPU ke Mabes Polri oleh pelapor Muhammad Syukur Mandar, calon legislatif DPR RI dari daerah pemilihan Maluku Utara, untuk Kabupaten Halmahera Barat, hanyalah kekeliruan saja.

Menurut Hafiz kepada wartawan dalam konferensi pers mendadak, kasus Syukur sudah selesai diputuskan Mahkamah Konstitusi. Intinya, waktu itu Syukur merasa dirugikan karena jumlah suaranya berkurang. Namun setelah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, gugatan Syukur ditolak secara keseluruhan.

"Beliau tidak terpilh karena suaranya kurang dibanding partai lain. Kasus ini sudah disampaikan ke Mahkamah Konstitusi 23 Mei 2009. MK memutuskan permohonan pemohon ditolak secara keseluruhan. Kasus ini sudah diselesaikan di MK," ujar Hafiz di KPU, Jakarta, Selasa (11/10/2011).

Dalam laporannya, Syukur menyebut Hafiz dan komisioner lainnya diduga bersama-sama melakukan pemalsuan surat sertifikat dan memberikan keterangan palsu. Namun, kata Hafiz, waktu gugatan ini disidangkan, dirinya dan komisioner tak hadir karena diwakili jaksa pengacara negara.

Biasanya, masih kata Hafiz, kalau kasus yang terjadi di tingkat provinsi atau kabupaten kota, maka yang memberikan jawaban adalah KPU setempat. Sebab mereka paling tahu perhitungan suara. Sementara di KPU Pusat hanya merekap hasil suara di daerah masing-masing.

Soal SPDP yang dikirimkan penyidik pada Direktorat Pidana Umum Bareskrim Polri, Hafiz mengaku belum dikonfirmasi. Namun ia menegaskan, terkait hal ini ada tiga anggotanya yang dimintai keterangannya sebagai saksi, yakni Kabag Teknis dan Humas Supriatna, dua komisioner KPU Endang Sulastri dan Abdul Aziz.

Simpang siur

Status tersangka atas ketua KPU simpang siur sepanjang sore kemarin. Direktur I Tipidum Bareskrim Polri, Brigjen (Pol) Agung Sabar Santoso, Senin (10/10/2011), menyampaikan, Polri telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) tertanggal 15 Agustus 2011 ke Kejaksaan Agung RI.

Berdasarkan SPDP yang diterima Kejaksaan Agung, Spdp.No.B./81-DP/VII/2011/Dit.Tipidum, Hafiz ditetapkan tersangka sejak 15 Agustus 2011 lalu. Dalam SPDP itu, Hafiz dikenakan Pasal 263 dan Pasal 266 KUH-Pidana tentang pemalsuan dan memberikan keterangan palsu pada akta otentik. Namun, pihak kejaksaan belum menjelaskan kasus surat Pemilu 2009 yang menjeratnya.

Gugatan diajukan calon anggota legislatif dari Partai Hanura, Dapil Halmahera Barat, Maluku Utara, Muhammad Syukur Mandar. Pihak tergugat tidak hanya Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, tapi juga komisioner KPU I Gede Putu Artha, Endang Sulastri, Syamsul Bahri, dan Abdul Aziz.

Dalam jumpa pers di Gedung DPR RI 5 Juli 2011 lalu, Syukur mengatakan pelaporan pimpinan dan komisioner KPU karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan terkait hasil pemilu 2009, yang didasari pada kriteria.

Senin malam, Kepala Badan dan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman membantah bahwa Hafiz telah ditetapkan sebagai tersangka. "Belum ditetapkan sebagai tersangka, SPDP dikirim ke Kejagung atas laporan polisi Syukur Mandar, terhadap terlapor ketua KPU," ujar Sutarman melalui pesan singkat kepada wartawan, Senin (10/10/2011).

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

    Nasional
    Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

    Nasional
    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

    Nasional
    Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

    Nasional
    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

    Nasional
    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

    Nasional
    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

    Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

    Nasional
    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

    Nasional
    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

    Nasional
    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

    Nasional
    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

    Nasional
    'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

    "Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

    Nasional
    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com