JAKARTA, KOMPAS.com — Program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono mendapatkan rapor merah di bidang pemberantasan korupsi. Transparency International Indonesia (TII) menilai, perhatian pemberantasan korupsi di periode kedua pemerintahan SBY melemah.
Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki mengatakan, pihaknya tidak melihat adanya keberhasilan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi dalam Program 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono. "Justru kami melihat adanya pembiaran pelemahan institusi antikorupsi yang cukup efektif, seperti kriminalisasi lembaga antikorupsi oleh institusi negara sendiri," ujar Teten, Selasa (26/1/2010) di Jakarta.
Parahnya, lanjut Teten, Presiden tidak melakukan upaya diskresi untuk hentikan kasus ini. Kemarahan publiklah yang justru menghentikan kelanjutan kasus tersebut. Dikatakan Teten, retorika SBY dalam pemberantasan cukup gencar, tetapi dalam pelaksanaannya justru terjadi kontradiksi.
Aktivis antikorupsi ini khawatir hal ini membuat skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2010 kembali melorot. Padahal, pada tahun 2009, IPK Indonesia 2,8, atau naik 0,2 dari tahun sebelumnya, yaitu 2,6.
Menurut Teten, fakta pembiaran yang terjadi pada tiga bulan pemerintahan SBY-Boediono ini merisaukan. Program 100 seharusnya dapat menjadi leverage (pengungkit) terhadap pemberantasan korupsi dalam lima tahun mendatang. Ditambahkannya, sebenarnya, jika pemerintah diam dan tidak mengganggu KPK dan Pengadilan Tipikor, IPK Indonesia akan membaik.
Tiga hal krusial
Saat ini, kata Teten, ada tiga hal penting yang harus dilakukan pemerintahan SBY terkait pemberantasan korupsi. Ketiga hal tersebut adalah, turut mendukung penyelesaian kasus Bank Century, memperkuat institusi KPK, serta membenahi institusi Kejaksaan dan Kepolisian.
Ketiga hal ini, jika dilakukan, akan berkontribusi positif pada peningkatan IPK. Terkait kasus Bank Century, Teten menyebutnya sebagai state capture. Fenomena ini akan terulang jika Indonesia tidak memiliki peraturan yang dapat mencegah konflik kepentingan.
Hal ini dianggap penting mengingat semakin banyak pengusaha yang menjadi politisi. Terlebih, jika politisi-pengusaha ini menguasai struktur politik di Indonesia sehingga berpotensi terciptanya oligarki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.