JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian, menilai pasal makar dalam undang-undang rentan disalahgunakan pemerintah.
Hal ini disebabkan belum adanya definisi yang jelas mengenai makar.
Sofian menanggapi uji materi terhadap Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP yang diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Dia merupakan ahli dari pihak Pemohon dalam uji materi yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/5/2017).
Menurut Sofian, perbedaan pendapat adalah hal wajar. Pentingnya memperjelas makna makar pada undang-undang untuk melindungi hak-hak masyarakat yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan melindungi orang yang menyatakan pendapatnya.
"Jangan dikatakan makar ketika sekelompok orang berbeda haluan politik dengan pemerintah. Sebab, kualitas perbuatan mereka enggak akan bisa menjatuhkan pemerintahan yang sah," kata Sofian.
Menurut Sofian, suatu tindakan dapat diartikan sebagai perbuatan makar jika memenuhi dua unsur, yakni adanya niat dan adanya permulaan pelaksanaan dari niat tersebut.
Permulaan pelaksanaan dapat diartikan jika kualitas tindakan itu secara jelas sudah merujuk pada upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.
(Baca juga: Ahli: Definisi Makar Jangan Ditafsirkan Sesuai Selera Rezim)
Selain itu, adanya upaya-upaya yang massif yang bisa menjatuhkan pemerintahan yang sah, meskipun pemerintahan saat itu belum jatuh. Misalnya, ada upaya membeli senjata atau pergerakan yang tujuannya membunuh presiden.
Oleh karena itu, lanjut Sofian, yang dimaksud dengan tindakan makar dalam undang-undang sedianya harus jelas. Jika tidak, pasal terkait makar rentan disalahgunakan.
"Sekedar mengkritik bisa dikenakan makar. Padahal enggak makar," ujarnya.
(Baca juga: Definisi Makar Harus Limitatif supaya Tak Disalahgunakan)