JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis buruh dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992) Baiq Ani mengatakan, selama ini kaum buruh selalu menjadi komoditas politik oleh sejumlah parpol.
Menurut Baiq, isu perburuhan selalu dimanfaatkan oleh parpol untuk mendulang suara terutama menjelang pilkada, pemilu legislatif maupun pilpres. Namun, hak-hak buruh hingga saat ini belum dipenuhi.
"Kami tidak melarang buruh berpolitik asalkan parpol tidak menjadikan buruh sebagai komoditas politik atau jembatan atau hanya digunakan untuk event tertentu," ujar Baiq saat ditemui dalam sebuah diskusi bertajuk 'Hari Buruh Jangan Dijadikan Komoditi Politik', di Gedung Juang, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (30/4/2017).
(Baca: Peringati "May Day", Perusahaan di Jateng Diminta Buat Skala Upah Buruh)
"Seperti misalnya pengerahan massa untuk mendulang suara, tetapi begitu dia menjadi anggota DPR atau pimpinan daerah, buruh dilupakan," ujar Baiq.
Baiq menuturkan, dalam praktiknya, kaum buruh selalu mengaspirasikan tuntutannya, entah itu melalui jalur politik maupun berunjukrasa.
Meski demikian, kata Baiq, persoalan buruh masih banyak yang belum diselesaikan. Kebijakan pemerintah dinilai masih menyengsarakan buruh yang upahnya terpatok oleh UMK.
Buruh banyak memberikan devisa kepada negara, tapi kesejahteraan kaum buruh tidak ada peningkatan.
Belakangan, kata Baiq, buruh terpenjara oleh rutinitas kerja, ditambah lagi dengan represifitas pengusaha berupa ancaman-ancaman PHK. Kondisi ini semakin buruk dengan adanya over exploitation di tempat kerja.
"Kami tidak mau hanya dijadikan komoditas politik menjelang pilkada atau pilpres. Kalau memang kami dianggap sebagai peraup suara, setidaknya dengarkanlah aspirasi kami. Capek juga turun ke jalan. Bukan hal mudah untuk itu," tutur Baiq.
(Baca: Sekitar 30 Ribu Buruh Akan Gelar Aksi "May Day" di Jakarta)
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum SBSI 1992, Sunarti mengatakan, tidak ada larangan jika buruh atau organisasi buruh berpolitik.
Akan tetapi, harus dipahami bahwa organisasi buruh harus punya posisi tawar dalam mengambil kebijakan dan kesejahteraan buruh.
"Buruh harus bisa meyakinkan parpol bahwa mereka bisa menyalurkan aspirasi kelompok buruh. Buruh bukannya tidak boleh berpolitik. Itu pilihan masing-masing," kata Sunarti.